I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ukuran dari keberhasilan pelayanan kebidanan modern tercermin dari penurunan angka kematian maternal (maternal mortality rate) dan kematian perinatal (perinatal mortality rate). Di negara-negara maju angka kematian maternal telah berhasil diturunkan sampai tingkat terendah. Bahkan ukuran keberhasilan sudah bergeser kepada bagaimana menekan angka kematian perinatal dan meningkatkan kualitas hidup dan kehidupan reproduksi.
Salah satu penyakit pada ibu hamil yang dapat meningkatkan angka kejadian morbiditas dan mortalitas ibu dan bayi adalah Preeklamsia – Eklamsia. Eklamsia di Indonesia mengakibatkan kejadian morbiditas dan mortalitas ibu dan bayi yang sangat tinggi. Diketahui kematian ibu berkisar antara 9,8% - 25,5%, sedangkan kematian bayi lebih tinggi lagi, yaitu 42,2% - 48,9%, sebaliknya kematian ibu dan bayi di negara-negara maju lebih kecil. Hal ini disebabkan karena di negara-negara maju terdapat kesadaran untuk melakukan pemeriksaan antenatal dan natal secara rutin.
Secara umum, tanda dari Preeklmsia adalah hipertensi, edem, dan proteinuria. Adanya kejang dan koma lebih mengarah pada kejadian eklamsia. Penyakit ini umumnya terjadi dalam triwulan ke-3 kehamilan, tetapi dapat timbul sebelumnya, misalnya pada mola hidatidosa. Penyebab pasti dari eklamsia sendiri belum diketahui, tetapi kita dapat mengetahui factor predisposisi dari penyakit ini, meliputi primigravida, kehamilan ganda, mola, hipertensi kronik, DM, obesitas dan malnutrisi. Karena itu diagnosis dini amatlah penting, yaitu mampu mengenali dan mengobati preeklamsia ringan agar tidak berlanjut menjadi pereklamsia berat dan mencegah preeklamsia berat menjadi eklamsia. Hal ini hanya bisa diketahui bila ibu hamil memeriksakan dirinya selama hamil, meliputi pengukuran tensi setiap saat serta pemberian vitamin dan mineral.
B. Tujuan
1. Untuk menganalisis kasus eklamsia yang terjadi pada kehamilan sehingga diharapkan mampu untuk mendiagnosis secara dini baik dari gejala atau tanda yang ada pada pasien.
2. Untuk mengetahui bagaimana penanganan pada kasus eklamsia sehingga diharapkan dapat mengurangi tingginya angka kematian baik pada ibu maupun bayi akibat eklamsia.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. EKLAMSIA
1. Definisi
Eklamsia adalah kelainan akut pada ibu hamil, saat hamil tua, persalinan atau masa nifas yang ditandai dengan timbulnya kejang atau koma, dimana sebelumnya sudah menunjukkan gejala-gejala preeklamsia (hipertensi, edema, proteinuria).1
2. Etiologi
Apa yang menjadi penyebab preeklamsia dan eklamsia sampai sekarang belum diketahui atau masih merupakan “a disease of teories”.2 Telah banyak teori yang mencoba menerangkan sebab-musabab penyakit tersebut, akan tetapi tidak ada yang dapat memberi jawaban yang memuaskan. Salah satu teori yang dikemukakan ialah bahwa eklamsia disebabkan oleh iskemia rahim dan plasenta (iskemia uteroplasenter).2
3. Patofisiologi
Perubahan pokok yang didapatkan pada preeklamsia dan eklamsia adalah spasmus pembuluh darah disertai dengan retensi garam dan air. Perlu dikemukakan disini bahwa tidak ada perubahan histopatologik yang khas pada pasien preeklamsia-eklamsia.3 Menurut Rustam (1989), eklamsia yang terjadi dalam kehamilan menyebabkan kelainan pada system saraf, yaitu dapat menimbulkan sakit kepala, gangguan visus, hiperefleksi, kejang-kejang dan ma yang disebabkan karena berkurangnya cairan darah ke otak, hipoksia otak dan edema otak.4 Hal ini dapat dibuktikan bahwa pada wanita yang meninggal karena eklamsia terdapat kelainan pada otak, disamping adanya kelainan pada hati, ginjal, paru-paru dan jantung. Kelainan pada organ-orgain lain tersebut dapat berupa nekrose, hemoragi, edema, hyperemia, atau iskemia dan trombosis. Pada plasenta terdapat infark-infark karena degenerasi sinsitiotrofoblast. Perubahan lain yang terdapat ialah retensi air dan natrium, hemokonsentrasi dan asidosis.4
Kenaikan berat badan dan udem yang disebabkan oleh penimbunan air yang berlebihan dalam ruangan interstitial yang terjadi pada pasien eklamsia sampai saat ini belum diketahui sebabnya, mungkin karena retensi air dan garam.3 Proteinuria dapat disebabkan oleh spasme arteriola glomerulus.3
4. Gambaran Klinis3
Eklamsia selalu didahului oleh makin memburuknya preeklamsia berat dan terjadinya gejala-gejala seperti nyeri kepala di daerah frontal, gangguan penglihatan, mual, nyeri di daerah epigastrium dan hiperrefleksia yang selanjutnya diikuti dengan kejang. Gejala lain adalah adanya kenaikan berat badan mendadak aibat retensi cairan, pembengkakan muka dan tangan, nausea, vomitus dan pengeluaran urin berkurang, proteinuria, dan trombosit kurang dari 100.000/mm3.
Kejang pada eklamsia dibagi dalam 4 tingkat, yaitu :
a. Tingkat awal (aura). Keadaan ini berlangsung kira-kira 30 deti. Mata penderita terbuka tanpa melihat, kelopak mata bergetar demikian pula tangannya, dan kepala diputar ke kanan atau ke kiri.
b. Kemudian timbul tingkatan kejang tonik yang berlangsung kurang lebih 30 detik. Dalam tingkat ini seluruh otot menjadi kaku, tangan menggenggam, dan kaki membengkok ke dalam. Pernapasan berhenti, muka mulai sianotik, lidah dapat tergigit.
c. Stadium ini kemudian disusul oleh tingkat kejang kloni yang berlangsung antara 1-2 menit. Spasmus tonik menghilang, semua otot berkontraksi dan berulang-ulang dalam tempo yang cepat. Mulut membuka dan menutup dan lidah dapat tergigit lagi. Bola mata menonjol. Dari mulut keluar ludah yang berbusa, muka menunjukkan kongesti dan sianosis. Pendrita menjadi tidak sadar. Kejang klonik ini dapat demikian hebatnya, sehingga penderita dapat jatuh dari tempat tidurnya. Akhirnya kejang berhenti dan penderita menarik napas secara mendengkur.
d. Tingkat selanjutnya yaitu tingkat koma. Lamanya ketidaksadaran tidak selalu sama. Secara perlahan-lahan penderita menjadi sadar lagi, akan tetapi dapat terjadi pula bahwa sebelum itu timbul serangan baru dan yang berulang, sehingga ia tetap dalam keadaan koma.
Selama serangan tekanan darah meninggi, nadi cepat, dan suhu meningkat sampai 400C. sebagai akibat serangan dapat terjadi komplikasi-komplikasi seperti lidah tergigit (perlukaan dan fraktura), gangguan pernapasan, solution plasenta, dan perdarahan otak.
5. Penegakkan Diagnosis
Diagnosis eklamsia umumnya tidak sulit. Dengan adanya tanda dan gejala preeklamsia yang disusul oleh serangan kejang seperti telah diuraikan, maka diagnosis eklamsia sudah tidak diragukan.
6. Diagnosis Banding3
Untuk menegakkan diagnosis eklamsia, eklamsia harus dibedakan dari :
a. Epilepsi
Dalam anamnesis diketahui adanya serangan kejang sebelum hamil atau pada hamil muda, sedangkan tanda preeklamsia tidak ada.
b. Kejang karena obat anestesia
Apabila obat anesthesia lokal disuntikkan ke dalam vena, dapat timbul kejang.
c. Koma karena sebab lain
Misalnya karena diabetes, perdarahan otak, meningitis, ensefalitis, dan sebagainya.
7. Pencegahan1
Umumnya timbulnya eklamsia dapat dicegah, atau frekuensinya dapat dikurangi. Usaha-usaha untuk menurunkan frekuensi eklamsia terdiri atas:
a. Meningkatkan jumlah balai pemeriksaan antenatal dan mengusahakan agar semua wanita hamil memeriksakan diri sejak hamil muda.
b. Mencari pada tiap pemeriksaan tanda-tanda preeklamsia dan mengobatinya segera apabila ditemukan.
c. Mengakhiri kehamilan sedapat-dapatnya pada kehamilan 37 minggu ke atas apabila setelah dirawat tanda-tanda preeklamsia tidak juga dapat dihilangkan.
8. Penatalaksanaan1,3,5,6
Tujuan utama pengobatan eklamsia adalah menghentikan berulangnya serangan kejang dan mengakhiri kehamilan secepatnya dengan cara yang aman setelah keadaan ibu mengijinkan. Dasar-dasar pengelolaan eklamsia:
a. Terapi suportif untuk stabilisasi pada ibu
b. Selalu diingat ABC (Airway, Breathing, Circulation)
c. Pastikan jalan nafas atas tetap terbuka
d. Mengatasi dan mencegah kejang
e. Koreksi hipoksemia dan academia
f. Mengatasi dan mencegah penyulit, khususnya krisis hipertensi
g. Melahirkan janin pada saat yang tepat dengan cara persalinan yang tepat.
Pengawasan dan perawatan intensif sangat penting bagi penanganan penderita eklamsia, sehingga pasien harus dirawat di rumah sakit. Pada pengangkutan ke rumah sakit diperlukan obat penenang yang cukup untuk menghindarkan timbulnya kejang. Untuk penatalaksanaan eklamsia sendiri terdiri dari:
a. Terapi Medikamentosa
i. Segera masuk rumah sakit
ii. Tirah baring miring ke kiri secara intermiten
iii. Infus Ringer Laktat atau Ringer Dextrose 5%
iv. Pemberian antikejang MgSO4 sebagai pencegahan dan terapi kejang
v. Pemberian MgSO4 dibagi :
- Loading dose (initial dose) : dosis awal, 4 gr (10 cc) 40% i.v diencerkan sampai 25 cc, masukan pelan-pelan selama 10 menit atau lebih, disusul 6 gr 40% drip dalam RL 500 cc.
- Maintainance dose : dosis lanjutan, tiap 6 jam diberikan 6 gr 40% drip, diteruskan sampai 24 jam pasca persalinan atau 24 jam bebas kejang.
Adapun syarat-syarat pemberian MgSO4 adalah :
- reflek patella normal
- respirasi > 16 kali per menit
- produksi urine dalam 4 jam sebelumnya > 100cc
- siapkan ampul Kalsium Glukonat 10% dalam 10cc.
b. Perawatan kejang
i. Tempatkan penderita di ruang isolasi atau ruang khusus dengan lampu terang (tidak diperkenankan ditempatkan di ruang gelap, sebab bila terjadi cyanosis tidak dapat diketahui).
ii. Tempat tidur penderita harus cukup lebar, dapat diubah dalam posisi Trendelenburg, dan posisi kepala lebih tinggi.
iii. Rendahkan kepala ke bawah : diaspirasi lender dalam orofaring guna mencegah aspirasi pneumonia.
iv. Sisipkan spatel lidah antara lidah dan gigi rahang atas.
v. Fiksasi badan harus kendor agar waktu kejang tidak terjadi fraktur.
vi. Rail tempat tidur harus dipasang dan terkunci dengan kuat.
c. Perawatan koma
i. Derajat kedalaman koma diukur dengan Glasgow Coma Scale
ii. Usahakan jalan nafas atas tetap terbuka
iii. Hindari decubitus
iv. Perhatikan nutrisi
d. Perawatan khusus yang harus berkonsultasi dengan bagian lain
Konsultasi ke bagian lain perlu dilakukan bila terjadi penyulit sebagai berikut :
i. Edema paru
ii. Oliguria renal
iii. Diperlukannya katerisasi arteria pulmonalis
e. Pengelolaan eklamsia
i. Sikap dasar pengelolaan eklamsia : semua kehamilan dengan eklamsia harus diakhiri (diterminasi) tanpa memandang umur kehamilan dan keadaan janin. Berarti sikap terhadap kehamilannya adalah aktif.
ii. Saat pengakhiran kehamilan, ialah bila sudah terjadi stabilisasi (pemulihan) hemodinamika dan metabolisme ibu.
iii. Stabilisasi dicapai selambat-lambatnya dalam : 4-8 jam, setelah salah satu atau lebih keadaan di bawah ini, yaitu setelah :
- pemberian obat anti kejang terakhir
- kejang terakhir
- pemberian obat-obat anti hipertensi terakhir
- penderita mulai sadar (dapat dinilai dari Glasgow Coma Scale yang meningkat)
f. Cara persalinan
Bila sudah diputuskan untuk melakukan tindakan aktif terhadap kehamilannya, maka dipilih cara persalinan yang memenuhi syarat pada saat tersebut.
Pengelolaan Konservatif :
i. Indikasi
Kehamilan preterm (< 37 minggu) tanpa disertai gejala-gejala impending eklamsia dengan keadaan janin baik.
ii. Pengobatan medicinal
iii. Pengobatan obstetric
- Selama perawatan konservatif, observasi dan evaluasi sama seperti perawatan aktif hanya disini tidak ada terminasi.
- MgSO4 dihentikan bila ibu sudah mencapai tanda-tanda preeklamsia ringan, selambat-lambatnya dalam waktu 24 jam.
- Bila setelah 24 jam tidak ada perbaikan maka keadaan ini dianggap sebagai kegagalan pengobatan medicinal dan harus diterminasi.
Cara terminasi kehamilan:
i. Belum inpartu :
- Induksi persalinan, dengan amniotomi + oksitosin drip dengan syarat bishop score > 5.
- Seksio sesarea bila:
o Syarat oksitosin drip tak terpenuhi atau adanya kontra indikasi
o 12 jam seja dimulainya oksitosin drip belum masuk fase aktif.
Pada primigravida lebih diarahkan untuk dilakukan terminasi dengan seksio sesarea.
ii. Sudah inpartu :
- Kala I :
Fase Laten : Seksio sesarea
Fase aktif :
o Amniotomi
o Bila 6 jam setelah amniotomi belum terjadi pembukaan lengkap, dilakukan seksio sesarea.
g. Perawatan pasca persalinan
i. Tetap dimonitor tanda vital
ii. Pemeriksaan laboratorium lengkap 24 jam pasca persalinan.
A. Latar Belakang
Ukuran dari keberhasilan pelayanan kebidanan modern tercermin dari penurunan angka kematian maternal (maternal mortality rate) dan kematian perinatal (perinatal mortality rate). Di negara-negara maju angka kematian maternal telah berhasil diturunkan sampai tingkat terendah. Bahkan ukuran keberhasilan sudah bergeser kepada bagaimana menekan angka kematian perinatal dan meningkatkan kualitas hidup dan kehidupan reproduksi.
Salah satu penyakit pada ibu hamil yang dapat meningkatkan angka kejadian morbiditas dan mortalitas ibu dan bayi adalah Preeklamsia – Eklamsia. Eklamsia di Indonesia mengakibatkan kejadian morbiditas dan mortalitas ibu dan bayi yang sangat tinggi. Diketahui kematian ibu berkisar antara 9,8% - 25,5%, sedangkan kematian bayi lebih tinggi lagi, yaitu 42,2% - 48,9%, sebaliknya kematian ibu dan bayi di negara-negara maju lebih kecil. Hal ini disebabkan karena di negara-negara maju terdapat kesadaran untuk melakukan pemeriksaan antenatal dan natal secara rutin.
Secara umum, tanda dari Preeklmsia adalah hipertensi, edem, dan proteinuria. Adanya kejang dan koma lebih mengarah pada kejadian eklamsia. Penyakit ini umumnya terjadi dalam triwulan ke-3 kehamilan, tetapi dapat timbul sebelumnya, misalnya pada mola hidatidosa. Penyebab pasti dari eklamsia sendiri belum diketahui, tetapi kita dapat mengetahui factor predisposisi dari penyakit ini, meliputi primigravida, kehamilan ganda, mola, hipertensi kronik, DM, obesitas dan malnutrisi. Karena itu diagnosis dini amatlah penting, yaitu mampu mengenali dan mengobati preeklamsia ringan agar tidak berlanjut menjadi pereklamsia berat dan mencegah preeklamsia berat menjadi eklamsia. Hal ini hanya bisa diketahui bila ibu hamil memeriksakan dirinya selama hamil, meliputi pengukuran tensi setiap saat serta pemberian vitamin dan mineral.
B. Tujuan
1. Untuk menganalisis kasus eklamsia yang terjadi pada kehamilan sehingga diharapkan mampu untuk mendiagnosis secara dini baik dari gejala atau tanda yang ada pada pasien.
2. Untuk mengetahui bagaimana penanganan pada kasus eklamsia sehingga diharapkan dapat mengurangi tingginya angka kematian baik pada ibu maupun bayi akibat eklamsia.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. EKLAMSIA
1. Definisi
Eklamsia adalah kelainan akut pada ibu hamil, saat hamil tua, persalinan atau masa nifas yang ditandai dengan timbulnya kejang atau koma, dimana sebelumnya sudah menunjukkan gejala-gejala preeklamsia (hipertensi, edema, proteinuria).1
2. Etiologi
Apa yang menjadi penyebab preeklamsia dan eklamsia sampai sekarang belum diketahui atau masih merupakan “a disease of teories”.2 Telah banyak teori yang mencoba menerangkan sebab-musabab penyakit tersebut, akan tetapi tidak ada yang dapat memberi jawaban yang memuaskan. Salah satu teori yang dikemukakan ialah bahwa eklamsia disebabkan oleh iskemia rahim dan plasenta (iskemia uteroplasenter).2
3. Patofisiologi
Perubahan pokok yang didapatkan pada preeklamsia dan eklamsia adalah spasmus pembuluh darah disertai dengan retensi garam dan air. Perlu dikemukakan disini bahwa tidak ada perubahan histopatologik yang khas pada pasien preeklamsia-eklamsia.3 Menurut Rustam (1989), eklamsia yang terjadi dalam kehamilan menyebabkan kelainan pada system saraf, yaitu dapat menimbulkan sakit kepala, gangguan visus, hiperefleksi, kejang-kejang dan ma yang disebabkan karena berkurangnya cairan darah ke otak, hipoksia otak dan edema otak.4 Hal ini dapat dibuktikan bahwa pada wanita yang meninggal karena eklamsia terdapat kelainan pada otak, disamping adanya kelainan pada hati, ginjal, paru-paru dan jantung. Kelainan pada organ-orgain lain tersebut dapat berupa nekrose, hemoragi, edema, hyperemia, atau iskemia dan trombosis. Pada plasenta terdapat infark-infark karena degenerasi sinsitiotrofoblast. Perubahan lain yang terdapat ialah retensi air dan natrium, hemokonsentrasi dan asidosis.4
Kenaikan berat badan dan udem yang disebabkan oleh penimbunan air yang berlebihan dalam ruangan interstitial yang terjadi pada pasien eklamsia sampai saat ini belum diketahui sebabnya, mungkin karena retensi air dan garam.3 Proteinuria dapat disebabkan oleh spasme arteriola glomerulus.3
4. Gambaran Klinis3
Eklamsia selalu didahului oleh makin memburuknya preeklamsia berat dan terjadinya gejala-gejala seperti nyeri kepala di daerah frontal, gangguan penglihatan, mual, nyeri di daerah epigastrium dan hiperrefleksia yang selanjutnya diikuti dengan kejang. Gejala lain adalah adanya kenaikan berat badan mendadak aibat retensi cairan, pembengkakan muka dan tangan, nausea, vomitus dan pengeluaran urin berkurang, proteinuria, dan trombosit kurang dari 100.000/mm3.
Kejang pada eklamsia dibagi dalam 4 tingkat, yaitu :
a. Tingkat awal (aura). Keadaan ini berlangsung kira-kira 30 deti. Mata penderita terbuka tanpa melihat, kelopak mata bergetar demikian pula tangannya, dan kepala diputar ke kanan atau ke kiri.
b. Kemudian timbul tingkatan kejang tonik yang berlangsung kurang lebih 30 detik. Dalam tingkat ini seluruh otot menjadi kaku, tangan menggenggam, dan kaki membengkok ke dalam. Pernapasan berhenti, muka mulai sianotik, lidah dapat tergigit.
c. Stadium ini kemudian disusul oleh tingkat kejang kloni yang berlangsung antara 1-2 menit. Spasmus tonik menghilang, semua otot berkontraksi dan berulang-ulang dalam tempo yang cepat. Mulut membuka dan menutup dan lidah dapat tergigit lagi. Bola mata menonjol. Dari mulut keluar ludah yang berbusa, muka menunjukkan kongesti dan sianosis. Pendrita menjadi tidak sadar. Kejang klonik ini dapat demikian hebatnya, sehingga penderita dapat jatuh dari tempat tidurnya. Akhirnya kejang berhenti dan penderita menarik napas secara mendengkur.
d. Tingkat selanjutnya yaitu tingkat koma. Lamanya ketidaksadaran tidak selalu sama. Secara perlahan-lahan penderita menjadi sadar lagi, akan tetapi dapat terjadi pula bahwa sebelum itu timbul serangan baru dan yang berulang, sehingga ia tetap dalam keadaan koma.
Selama serangan tekanan darah meninggi, nadi cepat, dan suhu meningkat sampai 400C. sebagai akibat serangan dapat terjadi komplikasi-komplikasi seperti lidah tergigit (perlukaan dan fraktura), gangguan pernapasan, solution plasenta, dan perdarahan otak.
5. Penegakkan Diagnosis
Diagnosis eklamsia umumnya tidak sulit. Dengan adanya tanda dan gejala preeklamsia yang disusul oleh serangan kejang seperti telah diuraikan, maka diagnosis eklamsia sudah tidak diragukan.
6. Diagnosis Banding3
Untuk menegakkan diagnosis eklamsia, eklamsia harus dibedakan dari :
a. Epilepsi
Dalam anamnesis diketahui adanya serangan kejang sebelum hamil atau pada hamil muda, sedangkan tanda preeklamsia tidak ada.
b. Kejang karena obat anestesia
Apabila obat anesthesia lokal disuntikkan ke dalam vena, dapat timbul kejang.
c. Koma karena sebab lain
Misalnya karena diabetes, perdarahan otak, meningitis, ensefalitis, dan sebagainya.
7. Pencegahan1
Umumnya timbulnya eklamsia dapat dicegah, atau frekuensinya dapat dikurangi. Usaha-usaha untuk menurunkan frekuensi eklamsia terdiri atas:
a. Meningkatkan jumlah balai pemeriksaan antenatal dan mengusahakan agar semua wanita hamil memeriksakan diri sejak hamil muda.
b. Mencari pada tiap pemeriksaan tanda-tanda preeklamsia dan mengobatinya segera apabila ditemukan.
c. Mengakhiri kehamilan sedapat-dapatnya pada kehamilan 37 minggu ke atas apabila setelah dirawat tanda-tanda preeklamsia tidak juga dapat dihilangkan.
8. Penatalaksanaan1,3,5,6
Tujuan utama pengobatan eklamsia adalah menghentikan berulangnya serangan kejang dan mengakhiri kehamilan secepatnya dengan cara yang aman setelah keadaan ibu mengijinkan. Dasar-dasar pengelolaan eklamsia:
a. Terapi suportif untuk stabilisasi pada ibu
b. Selalu diingat ABC (Airway, Breathing, Circulation)
c. Pastikan jalan nafas atas tetap terbuka
d. Mengatasi dan mencegah kejang
e. Koreksi hipoksemia dan academia
f. Mengatasi dan mencegah penyulit, khususnya krisis hipertensi
g. Melahirkan janin pada saat yang tepat dengan cara persalinan yang tepat.
Pengawasan dan perawatan intensif sangat penting bagi penanganan penderita eklamsia, sehingga pasien harus dirawat di rumah sakit. Pada pengangkutan ke rumah sakit diperlukan obat penenang yang cukup untuk menghindarkan timbulnya kejang. Untuk penatalaksanaan eklamsia sendiri terdiri dari:
a. Terapi Medikamentosa
i. Segera masuk rumah sakit
ii. Tirah baring miring ke kiri secara intermiten
iii. Infus Ringer Laktat atau Ringer Dextrose 5%
iv. Pemberian antikejang MgSO4 sebagai pencegahan dan terapi kejang
v. Pemberian MgSO4 dibagi :
- Loading dose (initial dose) : dosis awal, 4 gr (10 cc) 40% i.v diencerkan sampai 25 cc, masukan pelan-pelan selama 10 menit atau lebih, disusul 6 gr 40% drip dalam RL 500 cc.
- Maintainance dose : dosis lanjutan, tiap 6 jam diberikan 6 gr 40% drip, diteruskan sampai 24 jam pasca persalinan atau 24 jam bebas kejang.
Adapun syarat-syarat pemberian MgSO4 adalah :
- reflek patella normal
- respirasi > 16 kali per menit
- produksi urine dalam 4 jam sebelumnya > 100cc
- siapkan ampul Kalsium Glukonat 10% dalam 10cc.
b. Perawatan kejang
i. Tempatkan penderita di ruang isolasi atau ruang khusus dengan lampu terang (tidak diperkenankan ditempatkan di ruang gelap, sebab bila terjadi cyanosis tidak dapat diketahui).
ii. Tempat tidur penderita harus cukup lebar, dapat diubah dalam posisi Trendelenburg, dan posisi kepala lebih tinggi.
iii. Rendahkan kepala ke bawah : diaspirasi lender dalam orofaring guna mencegah aspirasi pneumonia.
iv. Sisipkan spatel lidah antara lidah dan gigi rahang atas.
v. Fiksasi badan harus kendor agar waktu kejang tidak terjadi fraktur.
vi. Rail tempat tidur harus dipasang dan terkunci dengan kuat.
c. Perawatan koma
i. Derajat kedalaman koma diukur dengan Glasgow Coma Scale
ii. Usahakan jalan nafas atas tetap terbuka
iii. Hindari decubitus
iv. Perhatikan nutrisi
d. Perawatan khusus yang harus berkonsultasi dengan bagian lain
Konsultasi ke bagian lain perlu dilakukan bila terjadi penyulit sebagai berikut :
i. Edema paru
ii. Oliguria renal
iii. Diperlukannya katerisasi arteria pulmonalis
e. Pengelolaan eklamsia
i. Sikap dasar pengelolaan eklamsia : semua kehamilan dengan eklamsia harus diakhiri (diterminasi) tanpa memandang umur kehamilan dan keadaan janin. Berarti sikap terhadap kehamilannya adalah aktif.
ii. Saat pengakhiran kehamilan, ialah bila sudah terjadi stabilisasi (pemulihan) hemodinamika dan metabolisme ibu.
iii. Stabilisasi dicapai selambat-lambatnya dalam : 4-8 jam, setelah salah satu atau lebih keadaan di bawah ini, yaitu setelah :
- pemberian obat anti kejang terakhir
- kejang terakhir
- pemberian obat-obat anti hipertensi terakhir
- penderita mulai sadar (dapat dinilai dari Glasgow Coma Scale yang meningkat)
f. Cara persalinan
Bila sudah diputuskan untuk melakukan tindakan aktif terhadap kehamilannya, maka dipilih cara persalinan yang memenuhi syarat pada saat tersebut.
Pengelolaan Konservatif :
i. Indikasi
Kehamilan preterm (< 37 minggu) tanpa disertai gejala-gejala impending eklamsia dengan keadaan janin baik.
ii. Pengobatan medicinal
iii. Pengobatan obstetric
- Selama perawatan konservatif, observasi dan evaluasi sama seperti perawatan aktif hanya disini tidak ada terminasi.
- MgSO4 dihentikan bila ibu sudah mencapai tanda-tanda preeklamsia ringan, selambat-lambatnya dalam waktu 24 jam.
- Bila setelah 24 jam tidak ada perbaikan maka keadaan ini dianggap sebagai kegagalan pengobatan medicinal dan harus diterminasi.
Cara terminasi kehamilan:
i. Belum inpartu :
- Induksi persalinan, dengan amniotomi + oksitosin drip dengan syarat bishop score > 5.
- Seksio sesarea bila:
o Syarat oksitosin drip tak terpenuhi atau adanya kontra indikasi
o 12 jam seja dimulainya oksitosin drip belum masuk fase aktif.
Pada primigravida lebih diarahkan untuk dilakukan terminasi dengan seksio sesarea.
ii. Sudah inpartu :
- Kala I :
Fase Laten : Seksio sesarea
Fase aktif :
o Amniotomi
o Bila 6 jam setelah amniotomi belum terjadi pembukaan lengkap, dilakukan seksio sesarea.
g. Perawatan pasca persalinan
i. Tetap dimonitor tanda vital
ii. Pemeriksaan laboratorium lengkap 24 jam pasca persalinan.
Post a Comment for "Eklamsia"