Di Indonesia, awalnya bentuk buku masih berupa gulungan
daun lontar. Menurut
Ajib Rosidi (sastrawan dan mantan ketua IKAPI), secara garis besar, usaha penerbitan buku di Indonesia dibagi dalam tiga jalur, yaitu usaha penerbitan buku pelajaran, usaha penerbitan buku bacaan umum (termasuk sastra dan hiburan), dan usaha penerbitan buku agama.
Ajib Rosidi (sastrawan dan mantan ketua IKAPI), secara garis besar, usaha penerbitan buku di Indonesia dibagi dalam tiga jalur, yaitu usaha penerbitan buku pelajaran, usaha penerbitan buku bacaan umum (termasuk sastra dan hiburan), dan usaha penerbitan buku agama.
Pada masa penjajahan Belanda, penulisan dan penerbitan
buku sekolah dikuasai orang Belanda. Kalaupun ada orang pribumi yang menulis
buku pelajaran, umumnya mereka hanya sebagai pembantu atau ditunjuk oleh orang
Belanda. Usaha penerbitan buku agama dimulai dengan penerbitan buku-buku agama
Islam yang dilakukan orang Arab, sedangkan penerbitan buku agama Kristen
umumnya dilakukan oleh orang Belanda.
Penerbitan buku bacaan umum berbahasa Melayu pada masa
itu dikuasai oleh orang-orang Cina. Orang pribumi hanya bergerak dalam usaha
penerbitan buku berbahasa daerah. Usaha penerbitan buku bacaaan yang murni
dilakukan oleh pribumi, yaitu mulai dari penulisan hingga penerbitannya, hanya
dilakukan oleh orang-orang Sumatera Barat dan Medan. Karena khawatir dengan
perkembangan usaha penerbitan tersebut, pemerintah Belanda lalu mendirikan
penerbit Buku Bacaan Rakyat. Tujuannya untuk mengimbangi usaha penerbitan yang
dilakukan kaum pribumi. Pada tahun 1908, penerbit ini diubah namanya menjadi Balai
Pustaka. Hingga Jepang masuk ke Indonesia, Balai Pustaka belum pernah
menerbitkan buku pelajaran karena bidang ini dikuasai penerbit swasta belanda.
Sekitar tahun 1950-an, penerbit swasta nasional mulai
bermunculan. Sebagian besar berada di pulau Jawa dan selebihnya di Sumatera.
Pada awalnya, mereka bermotif politis dan idealis. Mereka ingin mengambil alih
dominasi para penerbit Belanda yang setelah penyerahan kedaulatan di tahun 1950
masih diijinkan berusaha di Indonesia.
Pada tahun 1955, pemerintah Republik Indonesia mengambil
alih dan menasionalisasi semua perusahaan Belanda di Indonesia. Kemudian pemerintah
berusaha mendorong pertumbuhan dan perkembangan usaha penerbitan buku nasional
dengan jalan memberi subsidi dan bahan baku kertas bagi para penerbit buku
nasional sehingga penerbit diwajibkan menjual buku-bukunya denga harga murah.
Pemerintah kemudian mendirikan Yayasan Lektur yang
bertugas mengatur bantuan pemerintah kepada penerbit dan mengendalikan harga
buku. Dengan adanya
yayasan ini, pertumbuhan dan perkembangan penerbitan nasional dapat meningkat
dengan cepat. Menurut Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) yang didirikan 1950,
penerbit yang menjadi anggota IKAPI yang semula berjumlah 13 pada tahun 1965
naik menjadi 600-an lebih.
Pada tahun 1965 terjadi perubahan situasi politik di
tanah air. Salah satu akibat dari perubahan itu adalah keluarnya kebijakan baru
pemerintah dalam bidang politik, ekonomi dan moneter. Sejak akhir tahun 1965,
subsidi bagi penerbit dihapus. Akibatnya, karena hanya 25% penerbit yang
bertahan, situasi perbukuan mengalami kemunduran.
Sementara itu, pemerintah melalui Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Mashuri, kemudian menetapkan bahwa semua buku pelajaran disediakan
oleh pemerintah. Keadaan tidak bisa terus-menerus dipertahankan karena buku
pelajaran yang meningkat dari tahun ke tahun. Karena itu, diberikan hak pada
Balai Pustaka untuk mencetak buku-buku yang dibutuhkan dipasaran bebas. Para
penerbit swasta diberikan kesempatan menerbitkan buku-buku pelengkap dengan
persetujuan tim penilai.
Hal lain yang menonjol dalam masalah perbukuan selama
Orde Baru adalah penerbitan buku yang harus melalui sensor dan persetujuan
kejaksaan agung. Tercatat buku-buku karya Pramudya Ananta Toer, Utuj Tatang
Sontani dan beberapa pengarang lainnya, tidak dapat dipasarkan karena mereka
dinyatakan terlibat G30S/PKI. Sementara buku-buku “Siapa Menabur Angin Akan
Menuai Badai”, kemudian “Era Baru, Pemimpin Baru” tidak bisa dipasarkan karena
dianggap menyesatkan, terutama mengenai cerita-cerita seputar pergantian
kekuasaan pada tahun 1966.
Sekarang
Dari sisi lain, masih tentang produksi buku, jika diukur
dari jumlah produksi buku tiap tahunnya, negara kita sangat tertinggal.
Malaysia misalnya, setiap tahunnya mampu mengeluarkan lebih dari 10.000 judul
buku. Sementara di Indonesia, untuk mencapai 6.000 judul saja sudah merupakan
prestasi yang luar biasa. Jika kita bandingkan jumlah penduduk Malaysia yang
hanya sepersepuluh dari penduduk Indonesia, sangat jelas kita jauh tertinggal.
Angka itu akan semakin terlihat memprihatinkan bila dibanding Jepang yang mampu
menerbitkan 44.000 judul buku setiap tahun, Inggris 61.000, dan Amerika serikat
100.000 judul buku pertahun (Kompas, 31 Mei 1997).
Padahal, menurut data (sekali lagi, data lama) yang
dikemukakan Jane E Campbell, penduduk Indonesia yang “melek huruf”
mencapai sekitar 87% (Campbell dalam Ratnaningsih, 1998: 296). Sebagai
pembanding data dari BPS (2004) menyebutkan, tinggal 15,4 juta penduduk
Indonesia yang mengalami buta huruf. Ironis memang, meskipun persentase “bisa
baca” tersebut tergolong tinggi, ternyata minat baca masyarakat masih sangat
rendah. Fakta di lapangan menunjukkan, sebagian besar masyarakat—terkecuali
kalangan tertentu, seperti cendekiawan, kaum inteklektual dan mereka yang
karena kedudukan dan tugasnya harus bergelut dengan dunia buku—jarang sekali
mengunjungi perpustakaan atau membeli buku sebagai kebutuhan pokok mereka.
kalau sudah begini, mau tak mau urusan krisis ekonomi
dibawa-bawa dan dituding turut memberi kontribusi nyata dalam proses disvolusi budaya
baca di negara kita. Persoalan-persoalan mendasar seperti urusan perut, sandang
dan papan tampaknya lebih mendominasi prioritas kebutuhan. Di mata masyarakat,
buku dan perpustakaan adalah kebutuhan dengan nomor urut kesekian, jauh di
bawah kebutuhan-kebutuhan pokok yang lain. Stigma yang terbangun sedemikian
rupa ini lambat laun mengkondisikan merosotnya minat baca di kalangan
masyarakat. Di sisi lain, perubahan gaya hidup seiring gempuran informasi yang
deras melalui media elektronik, remaja kita saat ini lebih suka menghabiskan
waktu di mal, kafe, daripada mengunjungi perpustakaan sebagai bagian dari gaya
hidup mereka .
Di Indonesia yang konon hanya mampu memproduksi buku
sekitar 7.000 judul pertahun, untuk dapat disebut meledak di pasaran (best
seller) memang masih beragam ukurannya. Sebabnya antara lain: faktor
minat baca yang dianggap belum tinggui, masih rendahnya daya serap pasar,
jumlah sekali cetak buku rendah (non fiksi 2.000-6.000 dan fiksi 5.000 sampai
10.000), serta belum adanya data yang akurat mengenai angka-angka penjualan
buku (Zaqeus: 2008).
Bahkan, sebagian penerbit menganggap, kalau satu judul
buku mengalami cetak ulang—tak peduli berapa banyak dicetak dan berapa lama
habis terjual—itu sudah diklaim sebagaibest seller. Penerbit lainnya
menganggap sebuah buku dinyatakan best seller jika cetakan
pertamanya (3.000-5.000 eksemplar) habis terjual dalam waktu kurang dari enam
bulan. Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) menetapkan standard bestseller jika
terjual lebih dari 5.000 eksemplar.
Nanti
Industri
Buku digital di indonesia
BukuTablet akhirnya secara resmidiluncurkan. Bertempat di
salah satu hotel di Yogyakarta, BukuTablet yang merupakan produk besutan
Informotics Digital Persada mengumumkan layanan e-Marketplace buku-buku digital
berbasis komputer tablet.
Dalam presentasi yang disampaikan
langsung oleh CEO BukuTablet, Ardiansyah, dijelaskan bahwa BukuTablet hadir
sebagai enabler masa depan industri buku digital di tanah air.
Karena BukuTablet tidak sekedar menyediakan buku-buku digital, tetapi juga
menyediakan infrastruktur industri buku digital dari hulu hingga hilir yang
siap digunakan oleh para pemain di industri buku saat ini. Hal ini terlihat
jelas dengan berbagai fitur yang disediakan BukuTablet mulai dari pengelolaan
naskah dari penulis yang siap diterbitkan oleh penerbit, hingga sistem
e-Commerce yang memudahkan para pelanggan untuk membeli dan membaca buku.
BukuTablet adalah
layanan online marketplace yang khusus menyediakan buku-buku
digital (eBook) terbitan penerbit-penerbit Indonesia. Layanan BukuTablet
terdiri dari toko buku digital (eBook Store), eBook Reader, Manuscript Bidding System (MBS) serta
Academic & Personal eBook Library.
Yang membuat BukuTablet berbeda dengan layanan sejenis adalah karena
BukuTablet merupakan penyedia layanan buku digital pertama dan satu-satunya di
Indonesia yang sepenuhnya menggunakan format EPUB untuk seluruh
buku yang dipasarkan. Hal ini tentu sangat berbeda dengan buku digital saat ini
yang mayoritas menggunakan format PDF. Selain itu harga buku digital di
BukuTablet jauh lebih murah dibandingkan buku cetaknya, selisihnya bisa
mencapai 80 persen, kata Ardiansyah meyakinkan. Satu hal lagi yang paling
penting dalam BukuTablet adalah suplai buku dari para penerbit. Saat ini
BukuTablet telah menjalin partnership ke 40 lebih penerbit
buku lokal.
Dalam launching ini dijelaskan pula fitur-fitur kunci BukuTablet seperti B-Cloud dan Quote Sharing.
Fitur B-Cloud akan menjamin buku-buku yang dibeli akan tersimpan di serverdan
bisa disinkronisasi di tablet, PC maupun web. Sedangkan fitur Quote Sharing
akan memudahkan pembaca untuk membagikan kutipan (quote) buku langsung
ke Facebook maupun Twitter.
Post a Comment for "Industri Buku di Indonesia ( dulu, sekarang dan nanti . . . ) "