FOLLOW UP HARIAN PASIEN
(SOAP)
S : (KELUHAN)
O : (PEMERIKSAAN)
TENSI NADI
RR (RESPIRASI RATE) T (SUHU)
GCS : E4 M6 V5
PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
Pemeriksaan Meningeal sign (kaku kuduk dkk)
NC (NERVI CRANIALIS) Ã N ii dan N III : PUPIL
NCL (Nervi Cranialis Lain) Ã I s/d XII (selain N II dan N III)
Motorik: D S Sensorik : D S
NB: Sensorik menentukkan lesi(dermatom setinggi apa?)
Refleks Fisiologis: D S Refleks patologis D S
SISTEM OTONOM BAB : terkontrol BAK : terkontrol Keringat : normal
Hasil Pemeriksaan Penunjang
A : Klinis : DD:
Topis :
Etiologi
P : - Pemeriksaan tambahan
- Terapi
- KIE
Keterangan
Pemeriksaan meningeal sign
· Kaku kuduk
· Laseque
· Kerniq
· Brudzinsky I
· Brudzinsky II
SARAF KRANIALIS
Ø N. I: normal, pasien masih dapat mencium bau makanan, sabun, jeruk
Ø N. II:
§ Visus dan lapang pandang normal.
§ Pupil bulat, isokor, ukuran 2mm / 2mm.
§ Refleks cahaya langsung +/+.
Ø N. III, N. IV, dan N. VI:
§ Pergerakan bola mata normal baik ke segala arah, baik ke medial dalam dan lateral.
§ Tidak ada nistagmus.
§ Tidak terdapat ptosis.
Ø N. V
§ Sensorik: V1 : baik
V2 : baik
V3 : baik
§ Motorik:
inspeksi: tidak terlihat hipotrofi
palpasi: saat menggigit keras, kontraksi otot maseter kiri dan kanan sama keras.
Ø N. VII:
§ Inspeksi : Wajah pasien kiri dan kanan simetris. Celah palpebra kiri dan kanan normal. Plica nasolabialis kiri dan kanan simetris.
§ Pasien dapat memejamkan mata dengan kuat ketika pemeriksa berusaha mengangkat kedua kelopak mata pasien.
§ Pasien mampu mengangkat alisnya, kerutan di dahi tampak
§ Pada saat menyeringai, tidak sisi yang tertinggal
§ Pada saat menggembungkan pipi, mengembang sempurna
Ø N. VIII:
§ Fungsi pendengaran: suara gesekan jari terdengar.
Ø N. IX
§ Sensorik : pengecapan 1/3 posterior lidah dalam batas normal.
§ Motorik : fungsi menelan baik.
Ø N.X:
§ Tidak ada disfoni dan disfagi.
§ Arkus faring terlihat simetris.
§ Uvula berada di tengah.
Ø N. XI
§ Pasien dapat menoleh ke kanan dan ke kiri.
§ Pasien dapat mengangkat bahu dengan baik.
Ø N. XII
§ Di dalam mulut lidah terlihat normal, tidak ada deviasi, dan atrofi.
§ Saat menjulurkan lidah, tidak terlihat deviasi.
Kesimpulan:
· kalau tidak ditemukan kelainan NC Ã NC tidak ditemukan kelainan
· Kalau ada salah satu (contoh N VII) Ã ada kelainan N VII perifer/ sentral sin/dextra
MOTORIK
Inspeksi : ekstremitas atas dan bawah tidak tampak atrofi dan tidak terdapat fasikulasi
Tonus : Ekstremitas atas : normotonus / normotonus
Ekstremitas bawah: normotonus / normotonus
Kekuatan: Kanan Kiri
Lengan atas 5 5
Lengan bawah 5 5
Tangan 5 5
Jari tangan 5 5
Tungkai atas 5 5
Tungkai bawah 5 5
Kaki 5 5
Kesimpulan motorik: 5 5
5 5
Refleks fisiologis: Kanan Kiri
Biseps 2+ 2+
Triseps 2+ 2+
Patella 2+ 2+
Achilles 2+ 2+
Keterangan: 2 hiperrefleks, 1 normorefleks, 0 hiporefleks
Kesimpulan : RF 2+ 2+
2+ 2+
Refleks patologis: Kanan Kiri
Hoffman-Trommer - -
Babinski - -
Oppenheim - -
Gordon - -
Schaefer - -
Chaddock - -
Kesimpulan RP -- --
-- --
SENSORIK Kanan Kiri
Rangsang nyeri
Ekstremitas atas normoalgesia normoalgesia
Ekstremitas bawah normoalgesia normoalgesia
Rangsang raba
Ekstremitas atas normoestesia normoestesia
Ekstremitas bawah normoestesia normoestesia
Rangsang Suhu
Ekstremitas atas tidak diperiksa tidak diperiksa
Ekstremitas bawah tidak diperiksa tidak diperiksa
Rangsang getar
Ekstremitas atas tidak diperiksa tidak diperiksa
Ekstremitas bawah tidak diperiksa tidak diperiksa
Kelainan Neurologi
V : Vaskular
I : Infeksi
T : Trauma
A : Autoimune
M : Metabolik
I : Iatrogenik
N : Neoplasma
D : Degeneratif
S : Serebro vascular (stroke)
E : Epilepsi
M : Metabolik
E : Elektrolite
N : Neoplasma
I : Infeksi
T : Trauma
E : Endokrine
(versi dr.Marjanti SpS)
VERTIGO
STROKE
STROKE èdefisit neurologis yang tiba yang bersifat fokal/global yang belangsung cepat > 24 Jam yang bahkan meninggal yang disebabkan oleh gangguan peredaran darah di otak.
Komponen :
1. Jantung ( MCI, AF, Infark, dll)
2. Pembuluh darah (AVM, aneurisma, dll)
3. Darah (viskositas, komp.kolesterol, gula)
Kelainan:
1. PA
· Stroke Hemorragik (intraserebral, subarachnoid)
· Stroke non hemorragik (Emboli, thrombus)
2. Pembuluh darah
· Sistem Karotis
· Sistem vertebrobasiler
3. Onset
· TIA Ã <24 jam
· RIND (Reversible Iskemik Neurologi Defisit) Ã < 2minggu
· Stroke in evolution
· Stroke komplite
Faktor resiko
1. Non Modifikasi
· Umur
· Jenis Kelamin
· Ras
· Genetik
2. Modifikasi
· HT
· Kolesterol
· Jantung (AF, RA, dll)
· Gula
· Stress
· Pemakaian narkoba
· Pemakaian alat kontrasepsi
· Merokok
· Emosi
· Life style
SKOR SIRIRAJ (SKORE STROKE)
(2,5 x S) + (2 x M) + (2 x N) + (0,1 x Diastole) – (3 x A) – 12
Keterangan
S = Sadar 0 = Compos mentis 1 = somnolen 2 = spoor/koma
M = Muntah 0 = tidak ada 1 = ada
N = Nyeri kepala 0 = tidak ada 1 = ada
A = Ateroma 0 = tidak ada
1 = ada, salah satu/lebih (DM, angina, penyakit PD)
12 = konstanta
Kesimpulan: > 1 = Perdarahan supratentorial
< -1 = Infark/iskemik
-1 s/d 1 = Meragukan
MABP = Mean Arteri Blood Pressure
S + 2 D
3
Aspilet dosis kecil fungsinya sebagai antiagregasi
Aspilet dosis besar fungsinya sebagai analgetik.
KOMA
Perbedaan koma neurologi dan non neurologi/metabolic
| Neurologi | Non neurologi/Metabolik |
Anamnesa · Onset · Riwayat penyakit dahulu |
Mendadak - |
Kronik progressive DM/ Ginjal/ Hati |
Pemeriksaan fisik · Pupil · Reflek cahaya · Reflek kornea
· Adanya lateralisasi · Refleks fisiologis · Refleks patologis | Adanya deficit neurologis Isokhor Lambat - (kemungkinan MBO) Kejang Partial Meningkat + | Tidak ada deficit Anisokhor + Normal + Normal
Kejang umum + Normal - |
Laboratorium
|
| Hiperkolesterol Hiperglikemia Ureum/kreatinin naik Bilirubin meningkat |
SINKOP
II.1 Definisi
Sinkop berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari kata syn dan koptein yang artinya memutuskan. Sehingga definisi sinkop (menurut European Society of Cardiology:ESC), adalah suatu gejala dengan karakteristik klinik kehilangan kesadaran yang tiba-tiba dan bersifat sementara, dan biasanya menyebabkan jatuh. Onsetnya relatif cepat dan terjadi pemulihan spontan. Kehilangan kesadaran tersebut terjadi akibat hipoperfusi serebral. 3,4
II.2 Etiologi
Kegiatan sebelum sinkop dapat memberikan petunjuk mengenai penyebab gejala. Sinkop dapat terjadi pada saat istirahat, dengan perubahan postur, pada tenaga, setelah latihan, atau dengan situasi tertentu seperti batuk, atau berdiri lama. Sinkop terjadi dalam waktu 2 menit berdiri menunjukkan hipotensi ortostatik.3
Secara garis besar, penyebab sinkop dibagi menjadi dua. Akibat kelainan jantung (cardiac sinkop) dan penyebab bukan kelainan jantung. Pembagian ini sangat penting, karena berhubungan dengan tingkat risiko kematian. Penyebab sinkop dapat diklasifikasikan dalam lima kelompok yaitu vascular-cardiac, neurologi, sinkop refleks, sinkop metabolik dan sinkop lain-lain.4
TRAUMA MEDULA SPINALIS
A. GAMBARAN KLINIS
Trauma Medula spinalis akut dapat mengakibatkan renjatan spinal (spinal shock). Renjatan spinal (RS) merupakan sindrom klinik yang sering dijumpai pada sebagian besar kasus TMS di daerah servikal dan torakal. RS ditandai oleh adanya gangguan menyeluruh fungsi saraf somatomotorik, somatosensorik, dan otonomik simpatik. Gangguan somatik berupa paralisis flaksid, hilangnya refleks kulit dan tendon, serta anastesi sampai setinggi distribusi segmental medula spinalis yang terganggu. Sedangkan gangguan otonomik berupa hipotensi sistemik, bradikardia, dan hiperemia pada kulit. RS dapat berlangsung selama beberapa hari sampai beberapa bulan. Semakin hebat trauma MS yang terjadi, semakin lama dan semakin hebat pula RS yang terjadi.
Sebagian besar trauma MS terjadi di daerah servikal. Akan tetapi yang paling sering mengakibatkan cedera berat adalah trauma di daerah torakal. Hal ini berkaitan dengan penampang melintang kanalis spinalis di daerah torakal yang lebih sempit dibanding servikal. Trauma MS di segmen torakal dapat mengakibatkan paraplegia, disertai kelemahan otot interkostal yang dapat mengganggu kemampuan inspirasi dan ekspirasi. Semakin tinggi segmen medula spinalis yang terkena, semakin berat pula gangguan fungsi respirasi yang terjadi. Cedera setinggi segmen servikal (C4-C8) dapat mengakibatkan tetraplegia dan kelemahan otot interkostal yang lebih berat, sehingga otot diafragma harus bekerja lebih keras. Cedera servikal di atas segmen C4 dapat mengakibatkan pentaplegia, yaitu tetraplegia disertai kelumpuhan otot diafragma dan otot leher. Pada keadaan terakhir ini, diperlukan ventilator untuk membantu kelangsungan hidup penderita.
SISTEM OTONOM
PARKINSON
I. Pendahuluan
Penyakit parkinson adalah gangguan gerak kronis progresif yang ditandai dengan adanya tremor, bradikinensia, rigiditas dan ketidakstabilan posturall akibat degenerasi sel-sel yang menghasilkan dopamin di substansia nigra.
Terjadinya degenerasi sel-sel tersebut dapat mengakibatkan kerusakan pada sistim motor dan sistim limbik.
II. Klasifikasi ® Penyebab
a. Primer atau idiopatik
- Penelitian terakhir membuktikan adanya peran toksin lingkungan
b. Sekunder atau akuisita
- Paparan kronis zat kimia (Mn, CO, Reserpin, Antipsikotik)
- Penyakit (Ensefalitis, CKB, Alfametildopa, kaptopril)
c. Sindrom Parkinson Plus
- Gejala yang timbul bersamaan dengan penyakit lain (Alzheimer)
III. Stadium Penyakit Parkinson
Stadium I : Unilateral, ekspresi wajah berkurang, lengan yang terkena dalam posisi flexi dengan tremor dan ayunan lengan agak berkurang atau normal
Stadium II : Bilateral, postur tubuh bungkuk ke depan, gaya berjalan lambat, langkah kecil, sukar membalikkan badan
Stadium III : Gangguan gaya berjalan, ketidakstabilan postural, jarang tarjatuh
Stadium IV : Disabilitas, berjalan terbatas tanpa bantuan, sulit berdiri, kecenderungan terjatuh
Stadium V : Tidak mampu berdiri atau jalan, bicara tidak jelas, wajah tanpa ekspresi, jarang berkedip
Kriteria Diagnosis
1. Secara klinis :
- Dua dari tiga tanda kardinal gangguan motorik tremor, rigiditas dan bradikinensia postural
- Tiga dari empat tanda motorik : tremor, rigiditas, bradikinensia dan ketidakstabilan psotural
2. Kriteria Koller
- Dua dari tiga tanda kardinal selama 1 tahun atau lebih
- Respon terapi Levedopa sampai perbaikan sedang atau bermakna dan lama perbaikan selama 1 tahun atau lebih
3. Kriteria Hughes
- Klinis “possible” terhadap satu dari : Tremor (conset baru atau istirahat), rigiditas, bradikinensia
- Klinik “probable” bila terdapat dua dari : tremor postural, rigiditas, bradikinensia, reflek postural terganggu
- Klinis “ definit” terdapat kombinasi dari 3 tanda kardinal
IV. Terapi
1. Dopamin agnoist
2. Levedopa
3. Selegilin
4. Amatidine
5. COMT inhibitor
Rangkuman
n SGB (SINDROMAGUILLAIN-BARRE)
Suatu penyakit akut dimana terjadi polineuropati karena proses demielinisasi akibat inflamasi pada saraf kranial, akar saraf bagian ventral atau dorsal ataupun sepanjang perjalanan saraf perifer, dan dengan manifestasi klinis utama berupa kelumpuhan LMN.
n Etiologi SGB èImunologik dan Sering dihubungkan dengan virus Epstein-Barr atau virus sitomegalo ( CMV ).
· Klinis utama berupa kelemahan LMN, biasanya simetris.
· Periode perjalanan penyakitnya mulai beberapa hari sampai 2 minggu.
· Kelemahan proksimal sama dengan distal, bagian tungkai lebih dulu dibanding lebih atasnya ( lengan, badan, interkostal dan leher ), kemudian nervi kraniales.
· Dapat terjadi paralisis motorik total, dengan gagal nafas dan mengalami kematian.
· Gangguan sensorik ( baal dan kesemutan )tetapi tidak menonjol.
· Gangguan autonom juga sering terjadi ( pada kasus yang berat terjadi disautonom ; hipertensi / hipotensi.
n Miastenia Gravis ( MG ) adalah penyakit autoimun yang didapat dan mengganggu transmisi neuromuskular pada NMJ akibat kekurangan / kerusakan reseptor ACh.
n Gambaran klinis MG
· Onset : insidious dapat juga presipitous
· Keluhan khas : kelemahan otot setelah/ssaat digunakan dan membaik saat istirahat’
· Gejala inisial :
· Fokal
· Otot bulbar
· Otot ekstremitas ( 10% )
· Otot mata ( 60% ) ; diplopia, ptosis.
· Perkembangan :
· 10% pada otot
· 90% ke umum.
n Epilepsi ègangguan neurologi yang berulang,serangannya sama dengan yang pertama yang disebabkan oleh aliran listrik yang diotak berlebihan.
n Tumor otak (kronik progresif)
Gejalanya:
n Nyeri kepala: biasanya muncul pada pagi hari setelah bangun tidur, nyeri tepat bertambah berat waktu posisi berbaring dan berkurang bila duduk.
n Muntah proyektil
n Edema papil (funduskopi)
n Kejang èini terjadi bila tumor berada dihemisfer serebri serta merangsang korteks motorik.
n Lobus frontalis è daerah preprontalis (gejala gangguan mental (euphoria)), refleks memegang (grasp refleks)
n Area broka à afasia motorik (kiri)
n Lobus presentralis (area motorik), bila terdapat SOL Ã kejang fokal, kejang pada sisi kontralateral, lumpuh jika ada penekanan terhadapa jalur kortikospinal.
n Tumor dikelenjar hipofisis èakromegali
n Lobus temporalis
èdiunkus à gejala halusinasi pembauan dan pengecapan.
èdimedia à dejavu
èkorteks dibagian belakang temporal à pendengaran.
ètumor dihemisfer dominan bagian belakang (area wernicke)èafasia sensoris.
èkortikospinal à kelumpuhan anggota badan sisi kontralateral.
n Lobus parietalis à gangguan sensorik (post sentralis) à hilangnya kebal,berbagai sensasi.
n Tumor dilobus oksipitalis à nyeri kepala (gangguan awal utama) à defek lapang pandang penglihatan. Lesi dihemisfer dominan à visual object agnosta (tdk mengenal object)
n Tumor di mesensepalon à sering menekan jalur supra nuclear dari nucleus N III, dan N IV ègangguan konjugasi bola mata. Juga terjadi dilatasi pupil sebelah mata (anishokor), yg bereaksi negative pada rangsang cahaya.
n Tumor didaerah pons dan medulla oblongata à paresis N VI unilateral dan hemiparesis alternans.
n Tumor diserebelum (biayanya menyerang anak-anak) Ã TIK Ã menekan LCS Ã hidrosephalus.
n ETIOLOGI LBP
n Kongenital
n Trauma
n Inflamasi
n Tumor
n Ggn. Metabolik
n Degenerasi
n Kelaian alat viscera / retroperitoneal
n Psikogenik
n Kelainan sikap
n Jenis-jenis nyeri
n Nyeri lokal
n Referred pain
n Nyeri Radikuler
n Nyeri akibat kontraksi otot / spasme untuk proteksi
n Klasifikasi berdasarkan lokasi :
1. Meningitis : Infeksi meningen
2. Ensefalitis : Infeksi parenkhim otak
3. Myelitis : Infeksi medula spinalis.
Patogenesis: Masuknya mikroba ke SSP dapat secara :
1. Hematogen
2. Implantasi langsung. mis.: pungsi lumbal, VP Shunt.
3. Perluasan lokal mis.: mastoiditis
4. Melalui saraf tepi mis.: rabies, herpes simpleks
MENINGITIS SEPTIK AKUT
Kuman penyebab :
1. Haemophilus Influenzae
2. Meningococcal
3. Pneumococcal & gram positif lain
- Streptococcal
- Staphylococcal
4. Kuman gram negatif
- Listeria monocytogenesis
- Klebsiela pneumonia
- Pseudomonas aerogenesis, dll
Apakah spondylosis itu?
Spondylosis merupakan penyakit degeratif pada tulang belakang dimana terdapat osteofit di sepanjang bagian anterior dan lateral dari kolom vertebral.
Osteofit merupakan taji atau penonjolan tulang yang terbentuk di sepanjang sendi. Osteofit biasanya terbentuk akibat kerusakan pada permukaan sendi. Hal tersebut menyebabkan batasan pada pergerakan sendi bersamaan dengan berbagai tingkatan rasa sakit.
Bagian tulang belakang manakah yang terkena dampak spondylosis?
Bagian tulang belakang manapun dapat terkena dampak dari spondylosis, namun biasanya bagian servik dan lumbar cenderung yang lebih umum mengalami gejalanya. Istilah-istilah Cervical Spondylosis, Thoracic Spondylosis, dan Lumbar Spondylosis menerangkan bagian tulang belakang yang terkena dampaknya.
Apakah yang menyebabkan spondylosis?
Spondylosis diyakini merupakan akibat dari masalah pada diskus sirkuler antara dua tulang vertebral. Diskus tersebut dinamakan Annulus fibrosus. Hal ini mengarah ke perubahan yang bersifat degeneratif seiring dengan usia. Seiring penuaan, diskus tersebut akan kehilangan air, terbagi menjadi beberapa bagian, dan lalu hancur.
Kondisi tersebut menyebabkan adanya wear and tear (rusaknya sendi akibat sering digunakan) diantara tulang-tulang punggung atau vertebra. Hasilnya adalah pembentukan osteofit yang menyebabkan rasa sakit dan keterbatasan gerakan sendi. Selain bertambahnya usia, kondisi seperti arthritis dan trauma juga terlibat sebagai penyebab spondylosis.
Apasajakah gejala spondylosis?
Pasien yang menderita spondylosis dapat mengalami:
· Nyeri leher yang menyebar ke bahu, atau sakit punggung. Lokasi nyeri atau rasa sakit berhubungan dengan seberapa banyak tulang belakang yang terlibat.
· Sensasi abnormal atau kehilangan sensasi yang mengacu pada segmen tulang belakang yang terlibat.
· Otot terasa lemah (khususnya pada lengan dan tungkai).
· Kehilangan keseimbangan.
· Kehilangan kendali kandung kemih dan/atau usus bagian bawah (kondisi darurat medis).
Apasajakah yang menjadi pilihan perawatan dan penanganan standar untuk spondylosis?
Banyak pasien yang mengalami spondylosis merasa bahwa perawatan yang mereka lakukan tidak ideal. Perawatan dan penanganan konservatif serta perubahan gaya hidup memberikan beberapa hasil pada banyak kasus. Tujuan akhir dari penanganan ini adalah untuk memperlambat proses pada spondylosis dan meningkatkan kualitas hidup dengan memulihkan tanda dan gejala-gejala spondylosis.
Di bawah ini merupakan beberapa bentuk penanganan spondylosis:
Penanganan konservatif:
· Analgesik (penghilang rasa sakit) dan pengobatan anti-peradangan seperti NSAID.
· Obat untuk merelaksasi otot.
· Terapi panas.
· Stimulasi listrik.
· Terapi pijat.
· Fisioterapi dan latihan untuk menguatkan otot.
· Suntikan di sendi tulang belakang pada kondisi parah.
Penanganan melalui operasi/bedah:
· Jika metode-metode di atas tidak memberikan hasil yang diperlukan atau jika tingkat keparahan penyakit di luar batas kemampuan penanganan konservatif, maka keterlibatan operasi atau bedah dapat menjadi penting.
· Jika tidak dapat diperbaiki, penanganan melalui operasi melibatkan perbaikan atau pelepasan (di buang) diskus intervertebral yang terkena dampak spondylosis.
· Kadang dua tulang vertebral digabungkan dengan menggunakan serpihan-serpihan tulang dan hasil penggabungan ini disisipkan di antara dua tulang vertebral yang berdekatan.
Pengertian Cedera Kepala
Trauma / cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala. (Suriadi & Rita Yuliani, 2001)
askep-cedera-kepalaEtiologi Cedera Kepala
Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil.
Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan.
Cedera akibat kekerasan.
Patofisiologi Cedera Kepala
patofis-cedera-kepala
patofis-cedera-kepala2
Klasifikasi Cedera kepala menurut patofisiologinya dibagi menjadi dua :
1. Cedera Kepala Primer
Adalah kelainan patologi otak yang timbul akibat langsung pada mekanisme dinamik (acelerasi – decelerasi rotasi ) yang menyebabkan gangguan pada jaringan.
Pada cedera primer dapat terjadi :
a. Gegar kepala ringan
b. Memar otak
c. Laserasi
2. Cedera Kepala Sekunder
Adalah kelainan patologi otak disebabkan kelainan biokimia, metabolisme, fisiologi yang timbul setelah trauma.
Pada cedera kepala sekunder akan timbul gejala, seperti :
a. Hipotensi sistemik
b. Hipoksia
c. Hiperkapnea
d. Udema otak
e. Komplikasi pernapasan
f. infeksi / komplikasi pada organ tubuh yang lain
Klasifikasi cedera kepala berdasarkan Nilai Skala Glasgow (GCS):
1. Cedera Kepala Ringan
GCS 13 – 15
Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit.
Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral, hematoma.
2. Cedera kepala Sedang
GCS 9 – 12
• Kehilangan kesadaran dan amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam.
Dapat mengalami fraktur tengkorak.
3. Cedera Kepala Berat
GCS 3 – 8
Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam.
• Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial.
Proses-proses fisiologi yang abnormal:
- Kejang-kejang
- Gangguan saluran nafas
- Tekanan intrakranial meningkat yang dapat disebabkan oleh karena:
edema fokal atau difusi
hematoma epidural
hematoma subdural
hematoma intraserebral
over hidrasi
- Sepsis/septik syok
- Anemia
- Syok
Proses fisiologis yang abnormal ini lebih memperberat kerusakan cedera otak dan sangat mempengaruhi morbiditas dan mortalitas.
Perdarahan yang sering ditemukan:
Epidural hematom:
Terdapat pengumpulan darah diantara tulang tengkorak dan duramater akibat pecahnya pembuluh darah/cabang-cabang arteri meningeal media yang terdapat di duramater, pembuluh darah ini tidak dapat menutup sendiri karena itu sangat berbahaya. Dapat terjadi dalam beberapa jam sampai 1 – 2 hari. Lokasi yang paling sering yaitu dilobus temporalis dan parietalis.
Tanda dan gejala:
penurunan tingkat kesadaran, nyeri kepala, muntah, hemiparesa. Dilatasi pupil ipsilateral, pernapasan dalam dan cepat kemudian dangkal, irreguler, penurunan nadi, peningkatan suhu.
Subdural hematoma
Terkumpulnya darah antara duramater dan jaringan otak, dapat terjadi akut dan kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena/jembatan vena yang biasanya terdapat diantara duramater, perdarahan lambat dan sedikit. Periode akut terjadi dalam 48 jam – 2 hari atau 2 minggu dan kronik dapat terjadi dalam 2 minggu atau beberapa bulan.
Tanda dan gejala:
Nyeri kepala, bingung, mengantuk, menarik diri, berfikir lambat, kejang dan edema pupil.
Perdarahan intraserebral
Perdarahan di jaringan otak karena pecahnya pembuluh darah arteri, kapiler, vena.
Tanda dan gejala:
Nyeri kepala, penurunan kesadaran, komplikasi pernapasan, hemiplegi kontralateral, dilatasi pupil, perubahan tanda-tanda vital.
Perdarahan subarachnoid:
Perdarahan didalam rongga subarachnoid akibat robeknya pembuluh darah dan permukaan otak, hampir selalu ada pada cedera kepala yang hebat.
Tanda dan gejala:
Nyeri kepala, penurunan kesadaran, hemiparese, dilatasi pupil ipsilateral dan kaku kuduk.
Penatalaksanaan Cedera Kepala
Konservatif
Bedrest total
Pemberian obat-obatan
Observasi tanda-tanda vital dan tingkat kesadaran.
Pengkajian Cedera Kepala
Breathing
Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama jantung, sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman, frekuensi maupun iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau Ataxia breathing. Napas berbunyi, stridor, ronkhi, wheezing ( kemungkinana karena aspirasi), cenderung terjadi peningkatan produksi sputum pada jalan napas.
Blood:
Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah bervariasi. Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan transmisi rangsangan parasimpatik ke jantung yang akan mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia, disritmia).
Brain
Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi adanya gangguan otak akibat cidera kepala. Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, baal pada ekstrimitas. Bila perdarahan hebat/luas dan mengenai batang otak akan terjadi gangguan pada nervus cranialis, maka dapat terjadi :
Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan memori).
Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian lapang pandang, foto fobia.
Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata.
Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.
Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada nervus vagus menyebabkan kompresi spasmodik diafragma.
Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh kesalah satu sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan menelan.
Blader
Pada cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi, inkontinensia uri, ketidakmampuan menahan miksi.
Bowel
Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual, muntah (mungkin proyektil), kembung dan mengalami perubahan selera. Gangguan menelan (disfagia) dan terganggunya proses eliminasi alvi.
Bone
Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese, paraplegi. Pada kondisi yang lama dapat terjadi kontraktur karena imobilisasi dan dapat pula terjadi spastisitas atau ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis yang terjadi karena rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di otak dengan refleks pada spinal selain itu dapat pula terjadi penurunan tonus otot.
Pemeriksaan Diagnostik:
CT Scan: tanpa/dengan kontras) mengidentifikasi adanya hemoragik, menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
Angiografi serebral: menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma.
X-Ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis (perdarahan / edema), fragmen tulang.
Analisa Gas Darah: medeteksi ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
Elektrolit: untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan intrakranial.
Prioritas perawatan pada Cedera Kepala:
memaksimalkan perfusi/fungsi otak
mencegah komplikasi
pengaturan fungsi secara optimal/mengembalikan ke fungsi normal.
mendukung proses pemulihan koping klien/keluarga
pemberian informasi tentang proses penyakit, prognosis, rencana pengobatan, dan rehabilitasi.
Diagnosa Keperawatan Pada Cedera Kepala:
1) Perubahan perfusi jaringan serebral b.d penghentian aliran darah (hemoragi, hematoma); edema cerebral; penurunan TD sistemik/hipoksia (hipovolemia, disritmia jantung)
2) Resiko tinggi pola napas tidak efektif b.d kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat pernapasan otak). Kerusakan persepsi atau kognitif. Obstruksi trakeobronkhial.
3) Perubahan persepsi sensori b. d perubahan transmisi dan/atau integrasi (trauma atau defisit neurologis).
4) Perubahan proses pikir b. d perubahan fisiologis; konflik psikologis.
5) Kerusakan mobilitas fisik b. d kerusakan persepsi atau kognitif. Penurunan kekuatan/tahanan. Terapi pembatasan /kewaspadaan keamanan, misal: tirah baring, imobilisasi.
6) Resiko tinggi terhadap infeksi b.d jaringan trauma, kulit rusak, prosedur invasif. Penurunan kerja silia, stasis cairan tubuh. Kekurangan nutrisi. Respon inflamasi tertekan (penggunaan steroid). Perubahan integritas sistem tertutup (kebocoran CSS)
7) Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b. d perubahan kemampuan untuk mencerna nutrien (penurunan tingkat kesadaran). Kelemahan otot yang diperlukan untuk mengunyah, menelan. Status hipermetabolik.
8) Perubahan proses keluarga b. d transisi dan krisis situasional. Ketidak pastian tentang hasil/harapan.
9) Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan b. d kurang pemajanan, tidak mengenal informasi. Kurang mengingat/keterbatasan kognitif.
Rencana Tindakan Keperawatan Pada Cedera Kepala
1) Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah (hemoragi, hematoma); edema cerebral; penurunan TD sistemik/hipoksia (hipovolemia, disritmia jantung)
Tujuan:
Mempertahankan tingkat kesadaran biasa/perbaikan, kognisi, dan fungsi motorik/sensorik.
Kriteria hasil:
Tanda vital stabil dan tidak ada tanda-tanda peningkatan TIK
Intervensi :
1. Tentukan faktor-faktor yang menyebabkan koma/penurunan perfusi jaringan otak dan potensial peningkatan TIK.
Rasional : Penurunan tanda/gejala neurologis atau kegagalan dalam pemulihannya setelah serangan awal, menunjukkan perlunya pasien dirawat di perawatan intensif.
2. Pantau /catat status neurologis secara teratur dan bandingkan dengan nilai standar GCS.
Rasional : Mengkaji tingkat kesadaran dan potensial peningkatan TIK dan bermanfaat dalam menentukan lokasi, perluasan dan perkembangan kerusakan SSP.
3. Evaluasi keadaan pupil, ukuran, kesamaan antara kiri dan kanan, reaksi terhadap cahaya.
Rasional : Reaksi pupil diatur oleh saraf cranial okulomotor (III) berguna untuk menentukan apakah batang otak masih baik. Ukuran/ kesamaan ditentukan oleh keseimbangan antara persarafan simpatis dan parasimpatis. Respon terhadap cahaya mencerminkan fungsi yang terkombinasi dari saraf kranial optikus (II) dan okulomotor (III).
4. Pantau tanda-tanda vital: TD, nadi, frekuensi nafas, suhu.
Rasional : Peningkatan TD sistemik yang diikuti oleh penurunan TD diastolik (nadi yang membesar) merupakan tanda terjadinya peningkatan TIK, jika diikuti oleh penurunan kesadaran. Hipovolemia/hipertensi dapat mengakibatkan kerusakan/iskhemia cerebral. Demam dapat mencerminkan kerusakan pada hipotalamus. Peningkatan kebutuhan metabolisme dan konsumsi oksigen terjadi (terutama saat demam dan menggigil) yang selanjutnya menyebabkan peningkatan TIK.
5. Pantau intake dan out put, turgor kulit dan membran mukosa.
Rasional : Bermanfaat sebagai indikator dari cairan total tubuh yang terintegrasi dengan perfusi jaringan. Iskemia/trauma serebral dapat mengakibatkan diabetes insipidus. Gangguan ini dapat mengarahkan pada masalah hipotermia atau pelebaran pembuluh darah yang akhirnya akan berpengaruh negatif terhadap tekanan serebral.
6. Turunkan stimulasi eksternal dan berikan kenyamanan, seperti lingkungan yang tenang.
Rasional : Memberikan efek ketenangan, menurunkan reaksi fisiologis tubuh dan meningkatkan istirahat untuk mempertahankan atau menurunkan TIK.
7. Bantu pasien untuk menghindari /membatasi batuk, muntah, mengejan.
Rasional : Aktivitas ini akan meningkatkan tekanan intrathorak dan intraabdomen yang dapat meningkatkan TIK.
8. Tinggikan kepala pasien 15-45 derajad sesuai indikasi/yang dapat ditoleransi.
Rasional : Meningkatkan aliran balik vena dari kepala sehingga akan mengurangi kongesti dan oedema atau resiko terjadinya peningkatan TIK.
9. Batasi pemberian cairan sesuai indikasi.
Rasional : Pembatasan cairan diperlukan untuk menurunkan edema serebral, meminimalkan fluktuasi aliran vaskuler TD dan TIK.
10. Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi.
Rasional : Menurunkan hipoksemia, yang mana dapat meningkatkan vasodilatasi dan volume darah serebral yang meningkatkan TIK.
11. Berikan obat sesuai indikasi, misal: diuretik, steroid, antikonvulsan, analgetik, sedatif, antipiretik.
Rasional : Diuretik digunakan pada fase akut untuk menurunkan air dari sel otak, menurunkan edema otak dan TIK,. Steroid menurunkan inflamasi, yang selanjutnya menurunkan edema jaringan. Antikonvulsan untuk mengatasi dan mencegah terjadinya aktifitas kejang. Analgesik untuk menghilangkan nyeri . Sedatif digunakan untuk mengendalikan kegelisahan, agitasi. Antipiretik menurunkan atau mengendalikan demam yang mempunyai pengaruh meningkatkan metabolisme serebral atau peningkatan kebutuhan terhadap oksigen.
2) Resiko tinggi pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat pernapasan otak). Kerusakan persepsi atau kognitif. Obstruksi trakeobronkhial.
Tujuan:
mempertahankan pola pernapasan efektif.
Kriteria evaluasi:
bebas sianosis, GDA dalam batas normal
Intervensi:
1. Pantau frekuensi, irama, kedalaman pernapasan. Catat ketidakteraturan pernapasan.
Rasional : Perubahan dapat menandakan awitan komplikasi pulmonal atau menandakan lokasi/luasnya keterlibatan otak. Pernapasan lambat, periode apnea dapat menandakan perlunya ventilasi mekanis.
2. Pantau dan catat kompetensi reflek gag/menelan dan kemampuan pasien untuk melindungi jalan napas sendiri. Pasang jalan napas sesuai indikasi.
Rasional : Kemampuan memobilisasi atau membersihkan sekresi penting untuk pemeliharaan jalan napas. Kehilangan refleks menelan atau batuk menandakan perlunaya jalan napas buatan atau intubasi.
3. Angkat kepala tempat tidur sesuai aturannya, posisi miirng sesuai indikasi.
Rasional : Untuk memudahkan ekspansi paru/ventilasi paru dan menurunkan adanya kemungkinan lidah jatuh yang menyumbat jalan napas.
4. Anjurkan pasien untuk melakukan napas dalam yang efektif bila pasien sadar.
Rasional : Mencegah/menurunkan atelektasis.
5. Lakukan penghisapan dengan ekstra hati-hati, jangan lebih dari 10-15 detik. Catat karakter, warna dan kekeruhan dari sekret.
Rasional : Penghisapan biasanya dibutuhkan jika pasien koma atau dalam keadaan imobilisasi dan tidak dapat membersihkan jalan napasnya sendiri. Penghisapan pada trakhea yang lebih dalam harus dilakukan dengan ekstra hati-hati karena hal tersebut dapat menyebabkan atau meningkatkan hipoksia yang menimbulkan vasokonstriksi yang pada akhirnya akan berpengaruh cukup besar pada perfusi jaringan.
6. Auskultasi suara napas, perhatikan daerah hipoventilasi dan adanya suara tambahan yang tidak normal misal: ronkhi, wheezing, krekel.
Rasional : Untuk mengidentifikasi adanya masalah paru seperti atelektasis, kongesti, atau obstruksi jalan napas yang membahayakan oksigenasi cerebral dan/atau menandakan terjadinya infeksi paru.
7. Pantau analisa gas darah, tekanan oksimetri
Rasional : Menentukan kecukupan pernapasan, keseimbangan asam basa dan kebutuhan akan terapi.
8. Lakukan ronsen thoraks ulang.
Rasional : Melihat kembali keadaan ventilasi dan tanda-tandakomplikasi yang berkembang misal: atelektasi atau bronkopneumoni.
9. Berikan oksigen.
Rasional : Memaksimalkan oksigen pada darah arteri dan membantu dalam pencegahan hipoksia. Jika pusat pernapasan tertekan, mungkin diperlukan ventilasi mekanik.
10. Lakukan fisioterapi dada jika ada indikasi.
Rasional : Walaupun merupakan kontraindikasi pada pasien dengan peningkatan TIK fase akut tetapi tindakan ini seringkali berguna pada fase akut rehabilitasi untuk memobilisasi dan membersihkan jalan napas dan menurunkan resiko atelektasis/komplikasi paru lainnya.
3) Resiko tinggi terhadap infeksi b.d jaringan trauma, kulit rusak, prosedur invasif. Penurunan kerja silia, stasis cairan tubuh. Kekurangan nutrisi. Respon inflamasi tertekan (penggunaan steroid). Perubahan integritas sistem tertutup (kebocoran CSS)
Tujuan:
Mempertahankan normotermia, bebas tanda-tanda infeksi.
Kriteria evaluasi:
Mencapai penyembuhan luka tepat waktu.
Intervensi :
1. Berikan perawatan aseptik dan antiseptik, pertahankan tehnik cuci tangan yang baik.
Rasional : Cara pertama untuk menghindari terjadinya infeksi nosokomial.
2. Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan, daerah yang terpasang alat invasi, catat karakteristik dari drainase dan adanya inflamasi.
Rasional : Deteksi dini perkembangan infeksi memungkinkan untuk melakukan tindakan dengan segera dan pencegahan terhadap komplikasi selanjutnya.
3. Pantau suhu tubuh secara teratur, catat adanya demam, menggigil, diaforesis dan perubahan fungsi mental (penurunan kesadaran).
Rasional : Dapat mengindikasikan perkembangan sepsis yang selanjutnya memerlukan evaluasi atau tindakan dengan segera.
4. Anjurkan untuk melakukan napas dalam, latihan pengeluaran sekret paru secara terus menerus. Observasi karakteristik sputum.
Rasional : Peningkatan mobilisasi dan pembersihan sekresi paru untuk menurunkan resiko terjadinya pneumonia, atelektasis.
5. Berikan antibiotik sesuai indikasi.
Rasional : Terapi profilatik dapat digunakan pada pasien yang mengalami trauma, kebocoran CSS atau setelah dilakukan pembedahan untuk menurunkan resiko terjadinya infeksi nosokomial.
Daftar Pustaka
Abdul Hafid (1989), Strategi Dasar Penanganan Cidera Otak. PKB Ilmu Bedah XI – Traumatologi , Surabaya.
Doenges M.E. (2000), Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3 . EGC. Jakarta.
Sjamsuhidajat, R. Wim de Jong (1997), Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. EGC, Jakarta.
Suzanne CS & Brenda GB. Buku Ajar Medikal Bedah . Edisi 8. Volume 3. Jakarta: EGC; 1999.
Hudak & Gallo. Keperawatan Kritis, Pendekatan Holistik , Volume II. Jakarta: EGC; 1996.
Long; BC and Phipps WJ (1985) Essential of Medical Surgical Nursing : A Nursing Process Approach St. Louis. Cv. Mosby Company.
Asikin Z (1991) Simposium Keperawatan Penderita Cedera Kepala. Panatalaksanaan Penderita dengan Alat Bantu Napas, Jakarta.
Harsono (1993) Kapita Selekta Neurologi, Gadjah Mada University Press
Tags: Askep Cedera Kepala, gcs
PostHeaderIcon Tingkat Kesadaran
April 29th, 2009
Tingkat Kesadaran
( Macam-macam Tingkat Kesadaran )
Tingkat kesadaran adalah ukuran dari kesadaran dan respon seseorang terhadap rangsangan dari lingkungan, tingkat kesadarankesadaran dibedakan menjadi :
Compos Mentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar sepenuhnya, dapat menjawab semua pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya..
Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan dengan sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh.
Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu), memberontak, berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang berhayal.
Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun, respon psikomotor yang lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi, mampu memberi jawaban verbal.
Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada respon terhadap nyeri.
Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon terhadap rangsangan apapun (tidak ada respon kornea maupun reflek muntah, mungkin juga tidak ada respon pupil terhadap cahaya).
Perubahan tingkat kesadaran dapat diakibatkan dari berbagai faktor, termasuk perubahan dalam lingkungan kimia otak seperti keracunan, kekurangan oksigen karena berkurangnya aliran darah ke otak, dan tekanan berlebihan di dalam rongga tulang kepala.
Adanya defisit tingkat kesadaran memberi kesan adanya hemiparese serebral atau sistem aktivitas reticular mengalami injuri. Penurunan tingkat kesadaran berhubungan dengan peningkatan angka morbiditas (kecacatan) dan mortalitas (kematian).
Jadi sangat penting dalam mengukur status neurologikal dan medis pasien. Tingkat kesadaran ini bisa dijadikan salah satu bagian dari vital sign.
Penyebab Penurunan Kesadaran
Penurunan tingkat kesadaran mengindikasikan difisit fungsi otak. Tingkat kesadaran dapat menurun ketika otak mengalami kekurangan oksigen (hipoksia); kekurangan aliran darah (seperti pada keadaan syok); penyakit metabolic seperti diabetes mellitus (koma ketoasidosis) ; pada keadaan hipo atau hipernatremia ; dehidrasi; asidosis, alkalosis; pengaruh obat-obatan, alkohol, keracunan: hipertermia, hipotermia; peningkatan tekanan intrakranial (karena perdarahan, stroke, tomor otak); infeksi (encephalitis); epilepsi.
Mengukur Tingkat Kesadaran
Salah satu cara untuk mengukur tingkat kesadaran dengan hasil seobjektif mungkin adalah menggunakan GCS (Glasgow Coma Scale). GCS dipakai untuk menentukan derajat cidera kepala. Reflek membuka mata, respon verbal, dan motorik diukur dan hasil pengukuran dijumlahkan jika kurang dari 13, makan dikatakan seseorang mengalami cidera kepala, yang menunjukan adanya penurunan kesadaran.
Metoda lain adalah menggunakan sistem AVPU, dimana pasien diperiksa apakah sadar baik (alert), berespon dengan kata-kata (verbal), hanya berespon jika dirangsang nyeri (pain), atau pasien tidak sadar sehingga tidak berespon baik verbal maupun diberi rangsang nyeri (unresponsive).
Ada metoda lain yang lebih sederhana dan lebih mudah dari GCS dengan hasil yang kurang lebih sama akuratnya, yaitu skala ACDU, pasien diperiksa kesadarannya apakah baik (alertness), bingung / kacau (confusion), mudah tertidur (drowsiness), dan tidak ada respon (unresponsiveness).
Post a Comment for "catatan neurologi RS POLRI"