Makalah: Peran Sosial Budaya dalam Menjaga dan Memantapkan Pemahaman Ideologi Pancasila

I. Pengantar

Bangsa Indonesia harus bersyukur bahwa setelah melewati perjuangan kemerdekaan yang panjang dan pengorbanan jiwa dan raga, sehingga berhasil memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 dan mendirikan  Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh the founding fathers telah ditetapkan dasar hidup menegara yang kuat, suatu idealisme bernegara yang diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yang dinamakan Pancasila, yang oleh Bung Karno, digali dari budaya bangsa Indonesia sendiri dan ternyata lebih unggul jika dibandingkan dengan Declaration of Independence Amerika Serikat atau pun Manifesto Partai Komunis, sebab selain memiliki prinsip keadilan sosial juga memiliki prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa. Pancasila telah menjadi kesepakatan nasional bangsa sebagai dasar negara di sepanjang sejarah Negara Republik Indonesia dan juga telah dilakukan berbagai usaha untuk menimplementasikannya dalam kehidupan nyata di segenap aspek kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara.

Pada masa Pemerintahan Presiden Soekarno diselenggarakan indoktrinasi operasionalisasi Pancasila dengan menyiapkan bahan yang dikenal sebagai “Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi.”. Pada masa Pemerintahan Presiden Soeharto diselenggarakan “Penataran P-4” bagi seluruh rakyat Indonesia dengan harapan setiap warga negara dapat memahami hak dan kewajibannya serta bagaimana bersikap dan bertingkah laku dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sementara itu melalui jalur pendidikan baik pendidikan dasar, menengah maupun tinggi diselenggarakan pendidikan dengan kurikulum yang berisi materi untuk meningkatkan kemampuan peserta didik dalam hidup menegara berdasarkan Pancasila. Namun semua usaha tersebut nampaknya belum dapat memberikan hasil sebagaimana yang diharapkan. Hal itu dapat disebabkan karena metode dan materi yang kurang tepat, kesulitan menyediakan penatar/pendidik yang profesional, dan bahkan juga karena berbagai kesulitan yang menimpa bangsa, baik di bidang sosial, politik, ekonomi maupun keamanan. Keadaan tersebut memicu timbulnya kelompok yang pesimis dan bahkan timbul sinisme terhadap usaha menjadikan Pancasila sebagai acuan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Walaupun tidak menutup kemungkinan bahwa kelompok tersebut sebenarnya mempunyai maksud terselubung, menginginkan dasar negara yang lain bagi bangsa Indonesia, yang bersifat sektarian murni ataupun sebaliknya yang bersifat murni nonsektarian tertentu. Mereka yang tergolong dalam kelompok ini tampaknya terjebak oleh pemikiran sesaat yang sempit atau bahkan oleh dorongan perasaan irasional-emosional, sehingga mengingkari kenyataan yang dimiliki bangsa Indonesia sendiri yakni sebagai masyarakat majemuk, multikultural, dan heterogenitas bangsa yang sangat pluralistik.

Bagi bangsa Indonesia yang sadar akan kondisi nyata yang dimilikinya itu, tentulah semakin meyakini dasar negara yang telah disepakati bangsa Indonesia yakni Pancasila dan berusaha mengimplementasikannya. Namun masalah besar yang masih harus dihadapi ialah bagaimana menjabarkannya sehingga dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan nyata masyarakat di segenap aspek kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara. Hal tersebut amat diperlukan pada era reformasi saat ini, yang arahnya Pancasila nampak telah benar-benar dilupakan oleh berbagai kelompok dalam masyarakat, walaupun secara formal melalui ketetapan-ketetapan MPR-RI tetap diakui sebagai dasar negara yang harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara.

Pancasila telah menjadi kesepakatan nasional bangsa Indonesia sebagai dasar negara Negara Kesatuan Republik Indonesia, namun dalam upaya implementasinya mengalami berbagai hambatan, baik pada masa Pemerintahan Presiden Soekarno maupun pada masa Pemerintahan Presiden Soeharti, dan lebih-lebih lagi pada era reformasi dewasa ini. Gerakan reformasi yang digulirkan sejak tumbangnya kekuasaan Pemerintahan Presiden Soeharto, pada hakikatnya merupakan tuntutan merupakan tuntutan untuk melaksanakan demokratisasi di segala bidang, menegakkan hukum dan keadilan, menegakan hak asasi manusia (HAM), memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), melaksanakan otonomi daerah dan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, serta menata kembali peran dan kedudukan TNI dan POLRI.

Dalam perkembangannya, gerak reformasi yang sebenarnya memang amat diperlukan itu, tampak seolah-olah tergulung oleh derasnya arus eforia kebebasan, sehingga sebagian masyarakat seperti lepas kendali dan tergelincir ke dalam perilaku yang anarkis, timbul berbagai konflik sosial yang tidak kunjung teratasi, dan bahkan di berbagai daerah timbul gerakan yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa serta keutuhan NKRI. Bangsa Indonesia sedang dilanda krisis multidimensional di segenap aspek kehidupan masyarakat dan bangsa, bahkan menurut beberapa pakar dan pemuka masyarakat, yang sangat serius ialah krisis moral, masyarakat dan bangsa sedang mengalami demoralisasi.

Hal ini sebenarnya dapat dihindari apabila setiap anggota masyarakat, utamanya para penyelenggara negara dan para elit politik, dalam melaksanakan gerakan reformasi secara konsekuen, mewujudkan Indonesia Masa Depan yang dicita-citakan, senantiasa berdasarkan pada kesadaran dan komitmen yang kuat terhadap Pembukaan UUD 1945, yang di dalamnya mengandung nilai-nilai Pancasila yang harus dijadikan pedoman. Selama beberapa tahun terakhir ini, Pancasila, yang mengandung nilai-nilai budaya bangsa dan bahkan manjadi roh bagi kehidupan bangsa serta menjadikan bangsa Indonesia bangsa yang bermartabat, nampak dilupakan, sehingga bangsa ini seolah-olah kehilangan norma moral sebagai pegangan dan penuntun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945, tidak saja mengandung nilai budaya bangsa, melainkan juga menjadi sumber hukum dasar nasional, dan merupakan perwujudan cita-cita luhur di segala aspek kehidupan bangsa. Dengan perkataan lain, nilai-nilai yang terkandung di dalamnya juga harus dijabarkan menjadi norma moral, norma pembangunan, norma hukum, dan etika kehidupan berbangsa. Dengan demikian, sesungguhnya secara formal bangsa Indonesia telah memiliki dasar yang kuat dan rambu-rambu yang jelas bagi pembangunan masyarakat Indonesia masa depan yang dicita-citakan. Masalahnya ialah bagaimana mengaktualisasikan dasar dan rambu-rambu tersebut ke dalam kehidupan nyata setiap pribadi warga negara, sehingga bangsa ini tidak kehilangan norma moral sebagai penuntun dan pegangan dalam melaksanakan gerakan reformasi, mengatasi krisis multidimensional termasuk krisis moral yang sedang melanda bangsa dan negara untuk menjangkau masa depan yang dicita-citakannya.

II. Pokok Permasalahan

Untuk mengatasi krisis multidimensional termasuk krisis moral yang sedang melanda bangsa dan negara harus diawali dengan pembangunan moral dan karakter bangsa, yaitu mendorong penumbuhan dan pengembangan nilai-nilai Pancasila oleh masyarakat sendiri dan selanjutnya mengaktualisasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam hal ini pokok permasalahannya adalah bagaimana peran sosial budaya dalam menjaga dan memantapkan pemahaman ideologi Pancasila yang telah disepakati bersama sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945 menjadi Pedoman Umum sebagai tuntunan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?

III. Maksud dan Tujuan

Maksud daripada tulisan ini ialah agar nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dapat dijaga dan dimantapkan pemahamannya dan diaktualisasikan oleh setiap warga negara, utamanya para penyelenggara negara, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dengan tujuan dapat dijadikan tuntunan dalam merumuskan dan melaksanakan setiap kebijakan pembangunan segenap aspek kehidupan bangsa menuju terwujudnya cita-cita nasional yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945.

IV. Pancasila Kesepakatan Bangsa Indonesia

Kita pahami bersama bahwa Pancasila, yang sila-silanya diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, telah menjadi kesepakatan nasional bangsa dan ditetapkan sebagai dasar negara sejak tanggal 18 Agustus 1945, dan berlanjut di sepanjang sejarah Negara Republik Indonesia. Hal ini dapat disimak dalam Pembukaan atau Mukadimah UUD atau Konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia. Kesepakatan bersama ini merupakan perjanjian luhur, atau kontrak sosial bangsa, suatu kesepakatan yang mengikat warga negaranya untuk dipatuhi dan dilaksanakan dengan semestinya.

Diakui bahwa kata Pancasila memang tidak tertulis secara eksplisit, tetapi jiwa dan semangat substansinya senantiasa terdapat dalam Pembukaan atau Mukadimah UUD tersebut. Baru kemudian, jiwa dan semangat serta posisi dan peranannya dalam kehidupan bernegara ditegaskan melalui Ketetapan MPR RI No. XVIII/MPR/1998, Pasal 1 yang menyatakan: “Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945, adalah dasar negara NKRI, dan harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara.”

Kenyataan sejarah tersebut kiranya perlu dilengkapi dengan berbagai justifikasi untuk membuktikan bahwa Pancasila sebagai kesepakatan bangsa memiliki legalitas yang kuat, bahwa substansinya mengandung kebenaran dan memiliki keabsahan ditinjau dari berbagai justifikasi baik yuridik, filsafati dan teoritik, maupun sosiologik dan historik.

1. Justifikasi yuridik

Bila kita cermati secara mendalam, bahwa bangsa Indonesia telah berketetapan hati untuk selalu berpegang teguh pada Pancasila sebagai dasar negaranya, yang tercermin dalam UUD yang pernah berlaku di Negara Republik Indonesia. Hal itu terbukti diamanatkannya rumusan Pancasila dalam berbagai UUD yang telah berlaku di Indonesia dan dalam berbagai ketetapan Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang biasa disebut UUD 1945

Pembukaan

…………………………………………………………………………

maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

b. Konstitusi Republik Indonesia Serikat

Mukaddimah

…………………………………………………………………………

Maka demi ini kami menyusun kemerdekaan kami itu dalam suatu Piagam negara yang berbentuk federasi, berdasarkan pengakuan ke-Tuhanan Yang Maha Esa, perikemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan dan keadilan sosial,

…………………………………………………………………………

c. Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia

Mukaddimah

…………………………………………………………………………

Maka demi ini kami menyusun kemerdekaan kami itu dalam suatu Piagam negara yang berbentuk republik-kesatuan, berdasarkan pengakuan ke-Tuhanan Yang Maha Esa, perikemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan dan keadilan sosial, untuk mewujudkan kebahagiaan, kesejahteraan, perdamaian dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara-hukum Indonesia Merdeka yang berdaulat sempurna.

Demikianlah rumusan sila-sila Pancasila yang terdapat dalam berbagai UUD yang pernah berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia, meskipun kata Pancasila itu sendiri tidak pernah disebut secara eksplisit. Dengan kata lain sejak kemerdekaannya pada tahun 1945 hingga kini, bangsa Indonesia selalu dengan tegas menetapkan Pancasila sebagai dasar negaranya. Hal ini membuktikan bahwa bangsa Indonesia memegang teguh kesepakatan bersama dimaksud.

Selain itu berbagai Ketetapan MPR RI telah pula menentukan kedudukan dan fungsi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hal itu terbukti dengan adanya ketentuan yang berkaitan dengan Pancasila yang diamanatkan dalam berbagai TAP MPR RI selama era reformasi berikut ini:

d. TAP MPR RI No.XVII/MPR/1998 tentang HAK ASASI MANUSIA

Pasal 2

Menugaskan kepada Presiden Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk meratifikasi berbagai instrumen Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Manusia, sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Landasan

Bangsa Indonesia mempunyai pandangan dan sikap mengenai hak asasi manusia yang bersumber dari ajaran agama, nilai moral universal, dan nilai luhur budaya bangsa, serta berdasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

  1. e. TAP MPR RI No.XVIII/MPR/1998 tentang PANCABUTAN TAP MPR RI No.II/MPR/1978 tentang P4 (EKAPRASETIA PANCAKARSA) dan Penetapan tentang PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA

Pasal 1

Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara.

  1. f. TAP MPR RI No.IV/MPR/1999 tentang GARIS-GARIS BESAR HALUAN NEGARA TAHUN 1999-2004

Dasar Pemikiran

Tujuan nasional sebagaimana ditegaskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 diwujudkan melalui pelaksanaan penyelenggaraan negara yang berkedaulatan rakyat dan demokratis dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Landasan

Garis-Garis Besar Haluan Negara disusun atas dasar landasan idiil Pancasila dan landasan konstitusional Undang-Undang Dasar 1945.

Misi

Untuk mewujudkan visi bangsa Indonesia masa depan, ditetapkan misi sebagai berikut: (1) Pengamalan Pancasila secara konsisten dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. (2) dst.

  1. g. TAP MPR RI No.V/MPR/2000 tentang PEMANTAPAN PERSATUAN DAN KESATUAN NASIONAL

Kondisi yang Diperlukan

(2) Terwujudnya sila Persatuan Indonesia yang berupakan sila ketiga dari Pancasila sebagai landasan untuk mempersatukan bangsa.

Arah kebijakan

(2) Menjadikan Pancasila sebagai ideologi negara yang terbuka dengan membuka wacana dan dialog terbuka di dalam masyarakat sehingga dapat menjawab tantangan sesuai dengan visi Indonesia masa depan.

  1. h. TAP MPR RI No.VI/MPR/2001 tentang ETIKA KEHIDUPAN BERBANGSA

Pengertian

Etika Kehidupan Berbangsa merupakan rumusan yang bersumber dari ajaran agama, khususnya yang bersifat universal, dan nilai-nilai luhur budaya bangsa yang tercermin dalam Pancasila sebagai acuan dasar dalam berpikir, bersikap dan bertingkah laku dalam kehidupan berbangsa.

Dari ketentuan yang terdapat di dalam berbagai TAP MPR RI tersebut nampak dengan jelas betapa penting kedudukan dan peran Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara bagi bangsa Indonesia, yang tidak lain merupakan realisasi kesepakatan nasional bangsa. Adapun pokok-pokok substansinya adalah sebagai berikut:

(1) Hak asasi manusia ditegakkan dan tidak dibenarkan bertentangan dengan Pancasila

(2) Pandangan dan sikap bangsa Indonesia mengenai hak asasi manusia berdasar pada Pancasila.

(3) Pancasila harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara.

(4) Tujuan nasional dalam pembangunan mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa berdasarkan Pancasila.

(5) Salah satu misi bangsa Indonesia dalam menghadapi masa depannya adalah: Pengamalan Pancasila secara konsisten dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

(6) Pancasila sebagai landasan untuk mempersatukan bangsa.

(7) Pancasila sebagai acuan dasar masyarakat untuk berpikir, bersikap dan bertingkah laku dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Karena butir-butir substansi tersebut terdapat dalam TAP-TAP MPR RI, maka setiap warga negara wajib mengusahakan agar dapat dilaksanakan secara nyata oleh masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

2. Justifikasi teoritik-filsafati

Justifikasi teoretik-filsafati terhadap Pancasila adalah usaha manusia untuk  mencari kebenaran Pancasil dari sudut oleh pikir manusia, dari konstruksi nalar manusia secara logik. Kebenaran secara logik ini dapat ditinjau dari sisi formal, yakni tanggung jawab prosedural olah pikir tersebut, dan dari sisi material, yakni dari isi atau substansi yang menjadi pokok pikiran. Untuk praktisnya dalam mencari kebenaran Pancasila secara teoritik-filsafati ini tidak diuraikan secara terpisah antara kebenaran dari sisi formal dengan sisi material, tetapi secara bersamaan.

Pada umumnya dalam olah pikir secara filsafati, dimulai dengan suatu aksioma, yakni suatu kebenaran awal yang tidak perlu dibuktikan lagi, karena hal tersebut dipandang suatu kebenaran yang hakiki. Demikian pula the founding fathers bangsa Indonesia dalam membuktikan kebenaran Pancasila dimulai dengan suatu aksioma bahwa :”Manusia dan alam semesta ini adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dalam suatu pertalian yang selaras atau harmoni.” Aksioma ini dapat ditemukan rumusannya dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea kedua, keempat dan dalam batang tubuh pasal 29, sebagai berikut:

Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.

…, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, …

Pasal 29 ayat (1)

Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa

Sebagai bahan banding dapat dikemukakan di sini aksioma yang dikemukakan oleh bangsa Amerika dalam menetapkan demokrasi sebagai dasar bagi negaranya sebagai berikut:”We hold these truths to be self-evident, that all men are created equal, that they are endowed by their Creator with certain unalienable Rights, that among these are Life, Liberty, and the pursuit of Happiness. – That to secure the rights, Governments are instituted among Men, deriving their just powers from the consent of the governed.” Makna self-evident adalah sama dengan aksioma, suatu kebenaran yang tidak perlu dibuktikan lagi, dan bila aksioma ini salah maka akan gugurlah segala kebenaran yang terjabar dari aksioma tersebut.

Untuk memperluas wawasan dikutipkan rumusan yang terdapat dalam “Declaration of the Rights of Man and of the Citizen,” terjemahan dari Declaration des droits de l’homme et du citoyen, yang mendasari penyelenggaraan pemerintahan demokrasi di Perancis.

Men are born and remain free and equal in rights. Social distinction can be based only upon public utility. The aim of every political association is the preservation of the natural and impresciptible rights of man. These rights are liberty, property, security, and resistance to oppression. The source of all sovereignity is essentially in the nation, no body, no individual can exercise authority that does not proceed from it in plain terms. Liberty consists in the power to do anything that does not injure others. … law is the expression of general will. All the citizens have the right to take part personally or by their representatives in its information. …

Dari kutipan tersebut nampak dengan jelas dasar pikiran yang berupa aksioma bangsa Perancis dalam menyusun undang-undang dasar bagi negaranya. Dalam kehidupan bernegara harus menghormati hak asasi manusia, yakni liberty, security, dan resistance to oppression.

Marilah kita mencari kebenaran-kebenaran Pancasila dengan berdasarkan aksioma: “Bahwa manusia dan alam semesta adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dalam pertalian yang selaras dan harmoni.” Berdasarkan pada aksioma dimaksud kita mencoba menemukan konsep, prinsip dan nilai yang terkandung di dalamnya.

  1. Sebagai konsekuensi logis dari aksioma tersebut di atas, maka lahirlah suatu pengakuan bahwa alam semesta, termasuk manusia, adalah ciptaan Tuhan, dan Tuhan telah mengaturnya dengan hukum-hukum yang pasti, dan telah menyediakan segalah hal yang diperlukan untuk memelihara kelangsungan eksistensinya, serta telah membekali dengan kompetensi-kompetensi tertentu pada makhluk yang diciptakan-Nya, maka sudah sewajarnya bila manusia patuh dan tunduk kepada-Nya. Eksistensi segala makhluk yang tergelar di alam semesta ini memiliki misinya sendiri-sendiri sesuai dengan yang digariskan oleh Tuhan. Segala makhluk yang terdapat di alam jagad raya ini keberadaannya saling ketergantungan yang membentuk suatu ekosistem yang harmonis. Masing-masing memiliki peran dan kedudukan dalam menjaga kelestarian alam semesta. Pengingkaran akan misi yang diemban oleh masing-masing makhluk akan mengganggu keseimbangan dan harmoni kehidupan.

Di samping itu Tuhan juga membekali manusia dengan kemampuan untuk berpikir, merasakan dan berkemauan. Kemampuan-kemampuan ini berkembang lebih lanjut menjadi kemampuan untuk berbicara dan berkomunikasi, kemampuan bermasyarakat dan sebagainya. Untuk dapat mengembangkan kemampuan-kemampuan tersebut Tuhan juga mengaruniai manusia suatu hak yang disebut kebebasan, yang merupakan suatu kualitas etis atau moral yang diharapkan dapat membentuk suatu kesantunan moral yang ideal.

Dengan Ketuhanan Yang Maha Esa dimaksudkan bahwa manusia sadar dan yakin bahwa dirinya merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang berbudi luhur, yang patuh pada ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan-Nya. Suatu ikhtiar untuk mencapai tujuan hidup yang lebih baik yang merupakan implementasi kebebasan, dilandasi oleh keimanan dan ketaqwaan. Segala upaya yang dilakukan oleh manusia tidak dibenarkan bertentangan dengan apa yang menjadi misi manusia dengan kelahirannya di dunia. Tindakan yang mengarah pada perusakan, penghancuran adalah bertentangan dengan misi yang diemban oleh manusia. Yang dipergunakan sebagai acuan tiada lain adalah memayu hayuning bawono, dan leladi sesamaning dumadi, dalam mengusahakan agar alam selalu dalam keadaan yang paling kondusif bagi kelestariannya. Inilah konsep religiositas bangsa Indonesia yang harus dijadikan acuan dalam sikap, tingkah laku dan perbuatan manusia.

Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang tinggi martabatnya. Manusia dibekali oleh Tuhan dengan kemampuan untuk membedakan yang benar dan yang salah, yang baik dan buruk, yang adil dan yang zalim, dan sebagainya. Manusia selalu mengusahakan yang terbaik bagi dirinya, dan menghendaki perlakuan yang adil. Untuk mencapai hal tersebut manusia berusaha untuk menciptakan pola pikir dan tindak yang bermanfaat bagi dirinya tanpa merugikan pihak lain. Manusia didudukkan dalam kesetaraan; haknya dihormati tanpa mengabaikan bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan yang wajib mengemban misi yang dilimpahkan oleh Tuhan kepadanya. Manusia didudukan sesuai dengan harkat dan martabatnya sesuai dengan bekal dan kemampuan yang dikaruniakan oleh Tuhan. Hanya dengan cara demikian maka manusia diperlakukan dengan sepatutnya secara beradab. Inilah yang disebut konsep humanitas bangsa Indonesia yang harus dijadikan acuan dalam sikap, tingkah laku dan perbuatan manusia.

  1. Dalam kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara, manusia tentu berhadapan dengan manusia lain sebagai individu, dengan berbagai jenis kelompok atau golongan, dengan suatu kelompok khusus yang disebut negara-bangsa, dan dengan masyarakat dunia. Dalam hubungan ini pasti timbul kepentingan tertentu, dan masing-masing pihak berusaha untuk memperjuangkan kepentingannya. Bagi bangsa Indonesia yang memiliki dasar negara Pancasila, berusaha untuk mendudukkan setiap pihak pada peran dan fungsinya secara selaras atau harmonis. Yang diutamakan bukan kepentingan setiap pihak, tetapi terpenuhinya kepentingan semua pihak yang terlibat dalam kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara. Adalah wajar bila dalam hidup berbangsa dan bernegara kita sebagai warga negara-bangsa menyerahkan sebagian dari kepentingan dan kebebasan kita demi kelestarian dan kebesaran negara-bangsa. Sebagai contoh adalah dipandang wajar suatu negara-bangsa menuntut pemuda-pemudanya untuk mengambil bagian dalam bela negara, seperti bentuk wajib militer. Bahkan ada suatu negara-bangsa yang terpaksa mengambil tindakan secara tegas bagi warganegaranya yang menolak wajib militer tersebut. Tanpa menyerahkan sebagian dari kepentingan dan kebebasan individu tidak mungkin terbentuk suatu masyarakat yang disebut negara-bangsa. Inilah konsep humanitas dan nasionalitas bangsa Indonesia yang harus dijadikan pedoman dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
  2. Dewasa ini negara-negara di dunia sedang dilanda oleh demam demokrasi. Masing-masing negara berusaha untuk membuktikan dirinya sebagai negara demokrasi. Namun bila kita cermati, maka pelaksanaan demokrasi di berbagai negara tersebut berbeda-beda. Tidaklah salah bila UNESCO berkesimpulan bahwa ide demokrasi dianggap ambiguous, atau memiliki dua makna. Terdapat ambiguity atau kekaburan dalam sekurang-kurangnya dua segi, yakni mengenai lembaga-lembaga atau cara-cara yang dipergunakan untuk melaksanakan ide demokrasi ini, dan mengenai latar belakang kultural dan historis yang mempengaruhi istilah, ide dan praktek demokrasi. Oleh karena itu suatu negara-bangsa yang ingin memberikan makna demokrasi sesuai landasan filsafat yang dianutnya dan mendasarkan diri pada sejarah perkembangan bangsany dipandang wajar-wajar saja. Memaksakan suatu sistem demokrasi yang diterapkan pada suatu negara-bangsa tertentu untuk diterapkan pada negara lain yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda dipandang suatu pelanggaran hak asasi. Oleh karena itu dipandang sah-sah saja bila bangsa Indonesia memiliki konsep demokrasi sesuatu dengan dasar filsafat negara-bangsanya dan latar belakang budayanya, yakni kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permuswaratan/perwakilan, yang diterapkan melalui lembaga-lembaga negara yang disepakati oleh the founding fathers. Inilah konsep sovereinitas bangsa Indonesia yang harus dijadikan pedoman dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
  3. Yang dicita-citakan oleh bangsa Indonesia dalam mendirikan negara adalah kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Tidak maknanya suatu kesejahteraan jika hanya untuk sebagian kecil dari rakyat Indonesia, karena akhirnya yang tidak memperoleh kesejahteraan ini akan menjadi beban dan tanggungan negara. Oleh karena itu konsep keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia merupakan suatu konsep yang dapat dipertanggung jawabkan sebagai penerjemahan dari faham kebersamaan serta faham persatuan dan kesatuan. Inilah faham sosialitas bangsa Indonesia yang harus dijadikan pedoman dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Dari uraian di atas nampak dengan jelas bahwa Pancasila yang mengandung konsep religiositas, humanitas, nasionalitas, severeinitas dan sosialitas dapat dipertanggungjawabkan dari tinjauan teorik-filsafati. Konsep tersebut serta prinsip dan nilai yang terkandung dalam Pancasila merupakan konsep, prinsip dan nilai universal yang diperjuangkan pula oleh bangsa-bangsa di dunia, meskipun dalam prakteknya menampakkan orisinalitas dan otentik lahir dari jati diri bangsa Indonesia. Diyakini bahwa Pancasila di masa depan dapat menjadi salah satu alternatif ideologi manusia yang mendunia.

3. Justifikasi Sosiologik dan Historik

Sesuai dengan penggagas awal, Ir. Soekarno, Pancasila digali dari bumi Indonesia sendiri dan dikristalisasikan dari nilai-nilai yang berkembang dalam kehidupan rakyat Indonesia yang beraneka ragam. Nilai-nilai tersebut dapat diamati di berbagai kelompok masyarakat yang beraneka ragam. Nilai-nilai tersebut dapat diamati di berbagai kelompok masyarakat yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Diakui bahwa dalam mempraktekkan nilai-nilai tersebut terdapat perbedaan pada berbagai kelompok masyarakat; yang berbeda sekedar nilai praksisnya, namun nilai dasarnya tetap sama. Dengan demikian maka Pancasila memang merupakan living reality dalam kehidupan masyarkat Indonesia.

Sementara itu konsep yang terdapat dalam Pancasila sebenarnya sudah ada sejak zaman purba dalam kehidupan masyarakat. Sebelum agama-agama besar masuk di bumi Nusantara, masyarakat pada waktu itu telah menerapkan konsep religiositas dalam bentuk animisme, dinamisme, fetisisme dan sebagainya. Demikian juga konsep humanitas tersebut seperti tepo seliro, ber budi bowo laksono, sepi ing pamrih rame ing gawe, dan masih banyak lagi. Kita akui bahwa konsep nasionalitas baru berkembang pada permulaan abad XX, dan sejak itu selalu dijadikan panduan perjuangan masyarakat dan bangsa Indonesia. Istilah gotong royong, bawon, dan sebagainya menggambarkan implementasi konsep sosialitas.

Sekedar menambah wawasan untuk sampai pada kesimpulan bahwa konsep yang terdapat dalam Pancasila itu memang merupakan living reality masyarakat, berikut disampaikan beberapa ungkapan yang dapat ditemui di berbagai daerah.

Minangkabau

Bulat air oleh pembuluh, bulat kata oleh mufakat – konsep sorvereinitas.

Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah – konsep religiositas.

Syarak mangato, adat memakai.

Adat nan kawi, syarak nan lazim.

Penghulu beraja ke mufakat, mufakat beraja pada kebenaran – konsep humanitas.

Minahasa

Pangilekenta waja si Empung si Rumer reindeng rojor – konsep religiositas.

(Sekalian kita maklum bahwa yang memberikan rahmat yakni Tuhan Yang Maha Esa).

O Empung renga-rengan wengkesan umei i la leindeng – konsep religiositas

(Tuhan yang seumur dengan dunia ini, bukakan jalan dan bukalah hati supaya selalu memujaMu).

Tia kaliuran si masena impalampangan – konsep religiositas

(Jangan lupa kepada “Dia” yang memberi terang).

Lampung

Tebak cotang di serambi, mufakat dilemsesat – konsep sovereinitas

(Simpang siur di luar, mufakat di dalam balai).

Bolaang Mangondow

Na’ buah pinayung – konsep nasionalitas/persatuan

(Tetap bersatu dan rukun).

Madura

Abantal sadat, sapo’ iman, payung Allah – konsep religiositas

(Iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa).

Bugis/Makassar, Sulawesi Selatan

Tak sakrakai allowa ritang ngana langika – konsep religiositas

(Matahari tak akan tenggelam di tengah langit).

Bengkulu

Kalau takut dilambur pasang, jangan berumah di pinggir pantai.

Maluku

Kaulete mulowang lalang walidase nausavo sotoneisa etolomai kukuramese upasasi netane kwelenetane ainetane – konsep humanitas dan persatuan

(Mari kita bersatu baik di laut maupun di darat untuk menentang kezaliman).

Batak (Mandailing)

Songon siala sampagul rap tuginjang rap tu toru – konsep persatuan dan kebersamaan.

(Berat sama dipanggul, ringan sama dijinjing)

Batak (Toba)

Sai masia minaminan songon lampak ni pisang, masitungkol tungkolan songon suhat dirobean – konsep persatuan

(Biarlah kita bersatu seperti batang pisang dan mendukung seperti pohon tales di kebun)

Ungkapan-ungkapan tersebut menggambarkan bahwa konsep yang terkandung dalam Pancasila hidup tersebar di seluruh antero bumi Nusantara.

Dari uraian di atas jelas bahwa bagi bangsa Indonesia tidak perlu ada keraguan mengenai Pancasila baik sebagai dasar negara, ideologi nasional, maupun sebagai pandangan hidup bangsa dalam kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara. Hal ini terbukti dari analisis baik ditinjau dari segi yuridik, teoritik-filsafati, maupun sosiologik dan historik. Pancasila merupakan kesepakatan bangsa, suatu perjanjian luhur, yang memiliki legalitas, kebenaran, dan merupakan living reality. Hal ini terbukti dari analisis baik ditinjau dari segi yuridik, teoritik-filsafati, maupun sosiologik dan historik.

Masalah berikutnya adalah bagaimana Pancasila ini dapat diderivasi menjadi pedoman, panduan dan acuan bagi bangsa Indonesia dalam menghadapi berbagai tantangan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Nilai dasar yang terkandung dalam Pancasila ini perlu diderivasi ke dalam berbagai norma sehingga dapat dijadikan pedoman bertindak, dalam menentukan pilihan, dalam mengadakan penilaian dan mengadakan kritik terhadap peristiwa atau kebijakan yang digariskan oleh pemerintah. Tanpa membuminya Pancasila dalam kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara, pembuktian yang diungkapkan di atas tidak memiliki makna sama sekali, sehingga sekedar sebagai suatu wacana belaka, yang dapat membawa akibat negatif dalam kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara.

V. Pancasila Ideologi Nasional Bangsa Indonesia

Dalam rangka memahami dan meyakini Pancasila sebagai ideologi bangsa yang dapat dibanggakan dan handal dalam menghadapi berbagai permasalahan bangsa di masa kini dan di masa depan, maka perlu dikupas secara lebih mendalam hal-hal sebagai berikut:

  1. Pengertian ideologi;
  2. Lahir dan tumbuh-kembang ideologi;
  3. Pancasila adalah suatu ideologi;
  4. Pancasila adalah ideologi terbuka;
  5. Pancasila di tengah-tengah ideologi lain;
  6. Upaya untuk mempertahankan, memapankan dan memantapkan ideologi Pancasila.

Sekurang-kurangnya terdapat dua pandangan mengenai proses terbentuknya suatu ideologi. Pandangan pertama menyatakan bahwa suatu ideologi yang berisi konsep-konsep yang abstrak terjadi melalui proses yang disebut inkrimental, secara berangsur-angsur, yang tumbuh dan berkembang bersama dengan tumbuh kembang suatu masyarakat, sehingga suatu ketika diakui adanya nilai dasar, atau prinsip tertentu diterima sebagai suatu kebenaran yang diyakininya, untuk selanjutnya menjadi pegangan dalam hidup bersama. Nilai dasar dan prinsip dasar tersebut berkembang menjadi pandangan hidup atau filsafat hidup yang terjabar dalam norma-norma dalam kehidupan suatu masyarakat. M. Syafaat Habib berpendapat bahwa ideologi lahir dan kemudian berkembang dari kepercayaan politik yang terbentuk dari kemauan umum, perjanjian masyarakat, sebagai realitas historis.

Pandangan kedua menyatakan bahwa ideologi merupakan hasil olah pikir para cendekiawan untuk kemudian dijabarkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Contohnya Thomas Jefferson dengan menilai suatu kehidupan yang berkembang pada zamannya, menarik kesimpulan sehingga terumus menjadi suatu deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat yang bernafaskan ideologi liberalisme yang individualistik. Demikian juga Karl Marx mendeklarasilan suatu faham Marxisme, yang merupakan olah pikir yang merupakan deviasi dari pandangan Schopenhauer dan Hegel, sebagai tanggapan terhadap perkembangan masyarkat yang ada pada waktu itu, yang kemudian dipraktekkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara menjadi manifesto komunis.

Langkah yang harus kita bahas lebih lanjut adalah benarkah Pancasila memenuhi syarat sebagai suatu ideologi, yang berisi gagasan, cita-cita, nilai dasar yang bulat dan utuh, yang merupakan kemauan bersama bangsa, dan menjadi landasarn statis dan memberikan arah dinamis bagi gerak pembangunan bangsa.

Pancasila berisi konsep yang mengandung gagasan, cita-cita, dan nilai dasar yang bulat, utuh dan mendasar mengenai eksistensi manusia dan hubungan manusia dengan lingkungannya, sehingga dapat dipergunakan sebagai landasar dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Konsep tersebut adalah:

  1. Religiositas, suatu konsep dasar yang mengandung gagasan dan nilai dasar mengenai hubungan manusia dengan suatu realitas mutlak, apapun namanya. Sebagai akibat terjadilah pandangan tentang eksistensi diri manusia, serta sikap dan perilaku devosi manusia dalam hubungannya dengan Yang Maha Esa.
  2. Humanitas, suatu konsep yang mendudukkan manusia dalam tatahubungan dengan manusia yang lain. Manusia didudukkan dalam saling ketergantungan sesuai dengan harkat dan martabatnya dalam keadilan dan keberadaban sebagai makhluk ciptaan Yang Maha Benar.
  3. Nasionalitas, suatu konsep yang menyatakan bahwa manusia yang bertempat tinggal di bumi Nusantara ini adalah suatu kelompok yang disebut bangsa. Sikap loyalitas warganegara terhadap negara-bangsanya merupakan suatu bentuk tata hubungan antara warganegara dengan bangsanya.
  4. Sovereinitas, suatu konsep yang menyatakan bahwa yang berdaulat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia adalah rakyat, suatu konsep demokrasi, dengan ciri kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
  5. Sosialitas, suatu konsep yang menggambarkan cita-cita yang ingin diwujudkan dengan berdirinya NKRI, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, bukan perorangan.

Konsep, prinsip dan nilai yang terdapat dalam Pancasila tersebut merupakan pandangan yang bersifat universal, merupakan kepedulian para pakar dan cendekiawan sejak zaman purba sampai dewasa ini. Konsep, prinsip dan nilai yang terkandung dalam Pancasila tersebut saling terikat menjadi suatu kesatuan yang utuh dan sistemik, sehingga membentuk suatu ciri khusus atau orisinal dan otentik, yang merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh suatu ideologi.

Pada saat dirumuskan pada tahun 1945, prosesnya tidak berbeda dengan proses kelahiran deklarasi kemerdekaan Amerika. Pancasila digali dari realitas kehidupan yang ada di masyarakat, dan mendapat kesepakatan secara bulat dari wakil rakyat pada waktu itu. Dengan demikian Pancasila dapat disejajarkan dengan ideologi lain di dunia, bahkan mungkin memiliki kelebihan.

VI. Upaya Menjaga dan Memantapkan Pemahaman Ideologi Pancasila Melalui Peran Sosial-Budaya

Menurut Alfian terdapat empat faktor yang dapat menjadikan suatu ideologi tetap dapat bertahan dan menjadi ideologi yang tangguh, yakni (1) bahwa ideologi tersebut berisi nilai dasar yang berkualitas, (2) bahwa ideologi tersebut dipahami, dan bagaimana sikap dan tingkah laku masyarakat terhadapnya, (3) terdapat kemampuan masyarakat untuk mengembangkan pemikiran-pemikian yang relevan dengan ideologi tersebut tanpa menghilangkan jatidiri ideologi dimaksud, dan (4) seberapa jauh nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi itu membudaya dan diamalkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Sejauh mengenai Pancasila sebagai suatu ideologi, faktor kualitas nilai yang terkandung dalam Pancasila tidak perlu diragukan, tetapi faktor pemahaman dan sikap masyarakat, faktor kemampuan masyarakat, dan faktor pembudayaan dan pengamalan ideologi masih memerlukan usaha untuk dapat mempertahankan, memantapkan, memapankan, dan mengokohkan Pancasila. Untuk itulah perlu adanya usaha secara serius, dengan jalan mengimplementasikan Pancasila dalam segi aspek kehi Kebudayaan dalam arti luas adalah keseluruhan ide, aktivitas dan hasil karya manusia yang tidak berakar pada naluri, yang menjadi milik bersama untuk menciptakan kemudahan hidup, diwariskan melalui proses sosialisasi dan transformasi.

Sosial budaya merupakan salah satu bidang kehidupan manusia dalam mengembangkan kebudayaan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang berkaitan dengan pemenuhan hajat hidup manusia khususnya dalam memenuhi kepuasan batiniah, material dan sosial.

Sejak abad ke-20 dengan terjadinya keanekaragaman yang luar biasa dalam kehidupan berbangsa di negara-negara berkembang, masyarakat dunia mengakui bahwa keanekaragaman sosial bidaya atau pluralisme merupakan masalah yang hakiki. Masyarakat pluralistik adalah masyarakat yang terdiri atas sejumlah golongan suku bangsa yang terwujud dalam satuan-satuan masyarakat dengan kebudayaannya yang berdiri sendiri, dan menyati menjadi bangsa dalam sebuah negara.

Masyarakat Indonesia digolongkan sebagai masyarakat pluralistik, dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, yang harus diwujudkan dalam membangun jiwa kebangsaan yang kuat, berdiri di atas perbedaan kultur, agama, adat-istiadat, ras, etnis dan bahasa. Keanekaragaman tersebut tidak boleh meretakkan kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia. Itulah bentuk kehidupan sosial budaya bangsa Indonesia yang juga mewarnai kehidupan bidang politik, ekonomi dan keamanan nasional. Terkait dengan hal tersebut maka dalam implementasi konsep, prinsip dan nilai Pancasila dalam bidang sosial budaya dapat dijelaskan sebagai berikut:

  1. Bangsa yang berbudaya Pancasila adalah bangsa yang berpegang pada prinsip religiositas, pengakuan bahwa manusia merupakan salah satu makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai makhluk ciptaan Tuhan, maka manusia hendaknya mampu menempatkan diri secara tepat dalam hubungan dengan Tuhannya. Pertama ia harus yakin akan adanya Tuhan sebagai kekuatan gaib, yang menjadikan alam semesta termasuk manusia, yang mengatur dan mengelolanya sehingga terjadi keteraturan, ketertiban dan keharmonisan dalam alam semesta. Kedua, sebagai akibat dari keyakinannya itu, maka manusia wajib beriman dan bertakwa kepada-Nya, yakni mematuhi segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
  2. Bangsa yang berbudaya Pancasila berpandangan bahwa manusia sebagai ciptaan Tuhan dikaruniai berbagai kemampuan dasar, dengan kapasitas rasional dan memiliki hati nurani, yang membedakan manusia dari makhluk lain ciptaan Tuhan. Kemampuan dasar tersebut adalah cipta, rasa, karsa, karya dan budi luhur. Di samping itu manusia juga dikaruniai kebebasan untuk memanfaatkan potensi tersebut. Dengan kemampuan ini manusia dapat memahami segala hal yang berkembang di sekitar dunianya, mampu menangkap maknanya, mampu memberikan penilaian dan selanjutnya menentukan pilihan terhadap hal-hal yang akan dilaksanakan atau dihindarinya, yang harus dipertanggung jawabkan.
  3. Bangsa yang berbudaya Pancasila menghendaki berlangsungnya segala sesuatu dalam suasana yang selaras, serasi dan seimbang. Hal ini hanya mungkin terjadi apabila setiap warga masyarakat menyadari akan hal dan kewajibannya, menyadari akan peran, fungsi dan kedudukannya sesuai dengan amanah Tuhan Yang Maha Esa.
  4. Dalam menunjang hidup manusia, Tuhan menciptakan makhluk lain seperti makhluk jamadi, makhluk nabati, dan makhluk hewani baik di darat, laut maupun udara, untuk dapat dimanfaatkan oleh manusia dengan penuh kearifan. Segala makhluk tersebut perlu didudukkan sesuai dengan peruntukannya, sesuai dengan fungsinya, peran dan kedudukannya dalam menciptakan harmoni, dan kelestarian ciptaan-Nya. Setiap makhluk mengemban amanah dari Tuhan untuk diamalkan dengan sepatutnya.
  5. Di samping kemampuan dasar tersebut di atas, manusia juga dikaruniai oleh Tuhan dengan nafsu, akal dan kalbu yang merupakan pendorong dalam menentukan pilihan dan tindakan. Tanpa nafsu, akal dan kalbu tersebut maka manusia sekedar sebagai makhluk nabati, yang tidak memiliki semangat untuk maju, mencari perbaikan dan kesempurnaan dalam hidupnya. Dalam memanifestasikan nafsu tersebut maka perlu dipandu oleh akal dan budi luhur, sehingga pilihan tindakan akan menjadi arif dan bijaksana. Di sini letak martabat seorang manusia dalam menentukan pilihannya; dapat saja yang berkuasa dalam menentukan pilihan ini adalah hawa nafsu, sehingga pilihan tindakannya menjadi bermutu rendah; dapat pula pilihan ini didasarkan oleh pertimbangan akal sehat dan dilandasi oleh budi luhur dan bimbingan keyakinan agama, sehingga pilihan tindakannya menjadi berbudaya dan beradab.
  6. Bangsa yang berbudaya Pancasila menciptakan masyarakat yang demokratis, suatu masyarakat yang pluralistik, menghargai segala perbedaan yang dialami manusia, menghargai perbedaan pendapat, sportif, yang pada akhirnya bermuara pada suatu masyarakat yang selalu mengutamakan kesepakatan dalam menentukan keputusan bersama, dan selalu mematuhinya. Keputusan bersama ini dapat berupa kesepakatan yang bersifat informal, sosial maupun kultural oleh masyarakat, dapat pula bersifat formal maupun yuridis, seperti peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh negara. Masyarakat yang demokratis adalah masyarakat yang anggotanya menjunjung tinggi kesepakatan bersama dan menjunjung tinggi peraturan hukum. Hal ini berarti bahwa penegak hukum dan warga masyarakat sama-sama mematuhi hukum sesuai dengan peran dan kedudukan masing-masing.
  7. Bangsa yang berbudaya Pancasila menghargai harkat dan martabat manusia. Dengan kata lain hak asasi manusia dijunjung tunggi. Manusia didudukkan dan ditempatkan sesuai dengan harkat dan martabatnya. Hak-hak sipil dan politik warga masyarakat dihormati, demikian pula hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Dalam masyarakat yang demokratis yang menjunjung tinggi hak asasi warganya maka akan tercipta keadilan, kesetaraan gender, kebenaran dan keutamaan hidup, nilai yang sangat didambakan. Dengan demikian akan tercipta masyarakat yang berbudaya dan beradab.
  8. Bangsa yang berbudaya Pancasila menuntut berlangsungnya disiplin, transparansi, kejujuran dan tanggung jawab sosial dalam segala penyelenggaraan kehidupan. Dengan nilai-nilai tersebut akan tercipta keteraturan, ketertiban, ketentraman, kelugasan, saling percaya mempercayai, kebersamaan, anti kekerasan dan kondisi lainnya yang memperkuat kesatuan dan persatuan masyarakat sehingga terhindar dari berbagai penyimpangan termasuk korupsi, kolusi dan nepotisme dalam berbagai penyelenggaraan kehidupan, termasuk penyelenggaraan pemerintahan.
  9. Bangsa yang berbudaya Pancasila mengutamakan kepentingan bangsa dan negara, tanpa menggesampingkan kepentingan pribadi dan kelompok masyarakat. Berbagai kepentingan ini perlu diatur begitu rupa sehingga tercipta keharmonisan.

VII. Penutup

Diperlukan komitmen yang kuat, kerja keras dengan penuh kearifan dari segenap komponen bangsa, demi terwujudnya masa depan yang cerah dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sebagai penutup, kiranya tepat sekali dikutipkan bagian dari pidato Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945 sebagai berikut:

“Jikalau bangsa Indonesia ingin supaya Pancasila yang saya usulkan itu menjadi satu realiteit, … janganlah lupa akan syarat untuk menyelenggarakannya ialah perjuangan, perjuangan, sekali lagi perjuangan. Jangan mengira bahwa dengan berdirinya negara Indonesia Merdeka itu perjuangan kita telah berakhir. Tidak! Bahkan saya berkata: di dalam Indonesia merdeka itu perjuangan kita harus berjalan terus, hanya lain sifatnya dengan perjuangan sekarang, lain coraknya. Nanti kita bersama-sama sebagai bangsa yang bersatu padu, berjuang terus menyelenggarakan apa yang kita cita-citakan di dalam Pancasila …. “

Daftar Pustaka

  1. Ananda B. Kusuma, Risalah Sidang BPUPKI-PPKI 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945, Jakarta, 2005.
  2. Bambang Noorsena, Religi dan Religiositas Bung Karno – Keberagaman Mengokohkan ke Indonesiaan, Bali Jagadhita Press, Denpasar Bali 2001.
  3. Hartojo Kadjat, Harry Tjan Silalahi dan Hadi Susanto, Nalar dan Naluri, Tujuhpuluh Tahun Daoed Joesoef, Perpustakaan Nasional Indonesia, Jakarta 1996.
  4. Hasil semiloka nasional tentang Aktualisasi nilai-nilai Pancasila untuk Panduan Umum Kehidupan Masyarakat dalam Berbangsa dan Bernegara yang diselenggarakan LPPKB kerjasama dengan LKPKB di Jakarta tanggal 13 Oktober 2003.
  5. Hasil seminar nasional tentang Kapasitas Pancasila dalam Menghadapi Krisis Multidimensi yang diselenggarakan LPPKB di Jogyakarta tanggal 15 April 2003.
  6. Moerdiono dkk, Disunting Oetojo Oesman, SH dan Alfian, Pancasila sebagai Ideologi, BP-7 Pusat 1996.
  7. Pamoe Raharjo dan Islah Gusmian, Bung Karno dan Pancasila, Galang Press 2002.
  8. Sekretarian Negara RI, Risalah Sidang BPUPKI – PPKI 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945, Jakarta, 1995.
  9. Tiga Undang-Undang Dasar RI, UUD RI 1945, Konstitusi RIS 1950 dan UUDS 1950, Sinar Grafika, Jakarta, 1992.
  10. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Semoga bermanfaat, Tetap Semangat! | Catatan Harian

Post a Comment for "Makalah: Peran Sosial Budaya dalam Menjaga dan Memantapkan Pemahaman Ideologi Pancasila"