BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada umumnya terapi demam tipoid meliputi nutrisi yang memadai, menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit, pemberian antibiotika dan mencegah serta mengatasi komplikasi yang terjadi. (1,2,3,4,5,7,8)
Pemberian antibiotika pada terapi demam tifoid merupakan keharusan yang wajib dilaksanakan sebagai terapi anti mikroba atau terapi kausatif. Pengobatan antibiotika pada penderita demam tifoid akan memperpendek perjalanan penyakit, mengurangi komplikasi dan mengurangi angka kematian kasus.
Kekambuhan terjadi pada 10 % penderita yang tidak mendapatkan pengobatan antibiotika. Manifestasi klinis kekambuhan, pada umumnya menjadi nyata kurang lebih 2 minggu setelah penghentian pengobatan dengan antibiotika dan menyerupai bentuk penyakit akut. Tetapi kekambuhan tersebut umumnya bersifat lebih ringan dan lebih singkat, ini dapat terjadi berulang-ulang pada orang yang sama.
Antibiotika sebagai obat standar yang dapat digunakan untuk terapi demam tifoid sampai saat ini adalah kloramfenikol, kotrimoksasol, ampicilin dan amoksilin. Pada beberapa dekade terakhir, munculnya strain yang resisten terhadap beberapa antibiotika tersebut mendorong beberapa ahli untuk mencari antibiotika yang lebih tepat untuk salmonella typhi.(1,2,3,5,6,7,8)
B. Tujuan Penulisan
1. Memenuhi sebagian syarat untuk perbaikan hasil ujian akhir program pendidikan profesi di bagian Ilmu Kesehatan Anak, RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto.
2. Memahami dan mengetahui beberapa madam antibiotika yang dapat digunakan dalam terapi penyakit febris typhoid.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab II ini akan diuraikan beberapa macam antibiotika yang biasa digunakan dalam terapi penyakit febris typhoid yang meliputi farmakokinetik, dosis, kadar terapetik, efek yang tak diharapkan, interaksi obat dan sebagian cara kerjanya.
A. KLORAMFENIKOL
Pada tahun 1948 Woodward T. pertama kali menggunakan kloramfenikol untuk mengobati demam tifoid dan memberi hasil yang sangat memuaskan dalam waktu singkat. Karena efektivitasnya terhadap S. typhi dan harga obat relatif murah maka kloramfenikol dipakai sebagai obat standar pada infeksi Salmonella.
Kloramfenikol berhasil diisolasi pertama kali pada tahun 1947 dari biakan streptomyces venezuelae dan antibiotika sintetis pertama kali disintesa pada tahun 1949. Kloramfenikol kristalin merupakan ikatan yang netral dan stabil dengan rumus bangun sebagai berikut :
Kloramfenikol terdiri dari kristal-kristal tak berwarna dan rasanya pahit. Selain itu kloramfenikol sangat larut dalam alkohol, dalam air kelarutannya berkurang dengan saturasi 0,25 %. Kloramfenikol suksinat sangat larut dalam air dan dihidrolisa di jaringan-jaringan sehingga dapat digunakan secara parenteral. Untuk mengurangi rasa pahit, kloramfenikol diproduksi dalam bentuk basa dalam kapsul.
1. Kemasan, Cara Pemberian, Absorbsi, Distribusi, Waktu Paruh, Ekskresi dan Dosis Kloramfenikol.
Kloramfenikol merupakan antibiotika berspektrum luas, efektif terhadap organisme gram positif dan negatif meskipun penggunaannya terbatas karena toksik. Kloramfenikol dapat dijumpai dalam bentuk kloramfenikol palmitat dan kloramfenikol sodium suksinat. Untuk terapi demam tifoid kloramfenikol dapat diberikan peroral berupa kapsul atau suspensi/sirup dari kloramfenikol palmitat. Bila penderita tidak bisa minum obat peroral dapat diberikan kloramfenikol sodium suksinat secara intravena. Pemberian secara intramuskuler masih kontroversial karena adekuat/tidaknya absorbsi belum diketahui dengan pasti. Di beberapa negara kloramfenikol dapat diberikan melalui dubur. Dosis untuk terapi demam tifoid pada anak 50-100 mg/kg berat badan (BB)/hari dibagi dalam 3-4 dosis. Lama terapi 8-10 hari setelah suhu tubuh kembali normal atau 5-7 hari setelah demam turun; untuk mencegah terjadinya kekambuhan lama terapi dapat diberikan selama 14 hari penuh. Klorampenikal pada bayi, dosis kloramfenikal 25-50 mg/kg BB/hari.
Kloramfenikol peroral segera diabsorbsi secara komplit dengan konsentrasi dalam darah 10g/mL dicapai dalam 2 jam. Konsentrasi tertinggi dalam plasma 10-20 g/mL, pada umumnya konsentrasi dalam plasma berkisar 5-10 g/mL. Hampir semua bakteri gram negatif dapat dihambat oleh kloramfenikol pada konsentrasi 0,2-5 g/mL. Menurut Rowe pada kuman yang resisten terhadap kloramfenikol kadar hambat minimal dalam darah 250 mg/L sedangkan menurut Christie kadar hambat minimal > 150 g/mL dan pada kuman yang sensitif kadar hambat minimal 1-3 g/mL. Kloramfenikol palmitat dihidrolisa menjadi kloramfenikol di saluran cerna agar dapat diabsorbsi, sedangkan kloramfenikol suksinat sebagian dihidrolisa menjadi kloramfenikol bebas di hati, paru dan ginjal. Sehingga kadar kloramfenikol suksinat di darah lebih rendah daripada kloramfenikol palmitat ( 30 % dosis diekskresi sebelum dihidrolisa). Kloramfenikol didistribusi secara luas di jaringan dan cairan tubuh. Kloramfenikol dapat masuk ke cairan serebrospinal dengan kadar 50 % dari yang beredar dalam darah, selain itu obat ini dapat menembus plasenta ke sirkulasi darah janin, asi, dan cairan mata. Kloramfenikol berkaitan dengan protein plasma di sirkulasi 60 %. Waktu paruh kloramfenikol berkisar 1,5-4 jam dan dapat lebih lama pada penderita dengan penyakit hati yang parah atau bayi. Pada penderita penyakit ginjal dapat terjadi akumulasi metabolit inaktif. Kloramfenikol dinon-aktifkan di hati dengan kloramfenikol terutama melalui air kemih ( 10 % kloramfenikol aktif dan 90 % kloramfenikol inaktif). Selain itu obat ini juga dieksresi ke empedu (3 %) lalu direabsorbsi dan 1 % dieksresi melalui tinja dalam bentuk inaktif.
2. Cara Kerja Kloramfenikol pada S. typhi
Kloramfenikol merupakan antibiotika yang bersifat bakteriostatik dan berspektrum luas. Dapat digunakan untuk terapi infeksi bakteri gram positif maupun negatif. Kloramfenikol masuk ke sel yang sensitif melalui proses transpor aktif. Di dalam sel obat ini berkaitan dengan subunit 50 S ribosom bakteri di dekat site of action makrolit dan klindamisin, serta menghambat sintesa bakteri dengan cara mencegah perlekatan aminocyl transfer RNA ke acceptor site di ribosom komplek mRNA. Sehingga pembentukan ikatan peptida oleh peptidil transferase (reaksi transpeptidasi) dapat dihambat. Hal ini mengakibatkan peptida pada donor site komplek ribosom tidak dapat ditransfer ke asam amino acceptor, sehingga sintesa protein berhenti. Hambatan pada sintesa protein ini mengakibatkan efek bakteriostatik primer.
Cara Kerja :
Kloramfenikol
Transpor aktif
Sel sensitif
Ikatan dengan sub unit 50s ribosom bakteri
Hambat perlekatan aminiacyl transferRNA ke acceptor site
(di ribosom kompleks mRNA)
Pembentukan ikatan peptida dengan peptidil transferase
transfer peptida di donor site ke asam amino acceptor
Sintesa protein
Bakteriostatik primer
Ada resistensi S. typhi terhadap kloramfenikol dapat terjadi melalui 2 cara yaitu :
1. Plasmid mediated S. typhi memproduksi kloramfenikol asetil transferase yang dapat menon-aktifkan obat tersebut. Plasmid ini dapat mentransfer MDR dari satu bakteri ke bakteri lain secara konjugasi (misal pada MDR S. typhi).
2. S. typhi mengalami mutasi ribosomal dan penurunan permeabilitas atau up-take sehingga sensitivitas terhadap kloramfenikol menurun (misal pada S. typhi yang resisten terhadap salah satu antibiotika).
Mekanisme terjadinya resistensi antibiotika melalui 4 jalur yaitu :
1. Penurunan permeabilitas terhadap antibiotika.
2. Proses enzimatik yaitu proses inaktivasi obat oleh enzim asetilase.
3. Modifikasi letak reseptor obat.
4. Peningkatan sintesa metabolik antagonis terhadap antibiotika.
Hal ini menyebabkan beberapa peneliti berusaha mencari obat alternatif lain dengan syarat aman bagi anak dan dewasa, harga terjangkau, dapat diberikan peroral dan efektif.
3. Keuntungan dan Kerugian Kloramfenikol
Keuntungan terapi kloramfenikol pada demam tifoid antara lain :
1. Harga murah
2. Mudah diperoleh
3. Jarang menimbulkan efek samping dalam pemakaian yang singkat
4. Demam turun dalam waktu singkat (3-4 hari terapi)
5. Meningkatkan angka kesembuhan ( 90%)
6. Menurunkan mortalitas (10-15% menjadi 1-4%)
Adapun kerugian penggunaan kloramfenikol pada demam tifoid antara lain :
1. Tidak dapat menurunkan angka kekambuhan
2. Tidak berpengaruh pada eksretor konvalesen atau karier kronis
3. Mengakibatkan anemia aplastik pada 1 : 10.000-50.000 penderita
4. Tidak dapat digunakan pada S. typhi yang resisten terhadap kloramfenikol.
4. Efek Samping dan Kontra Indikasi Penggunaan Kloramfenikol
Kloramfenikol dapat menimbulkan efek samping yang serius dan kadang-kadang fatal. Efek samping tersebut antara lain :
1. Gangguan pada saluran cerna yaitu : mual, muntah dan diare.
2. Depresi sumsum tulang yang dibagi menjadi dua yaitu :
a. Depresi terjadi karena konsetrasi kloramfenikol dalam plasma > 25 ug/mL ditandai dengan perubahan morfologi sumsum tulang (adanya vacuolated nucleated red cells di sumsum tulang), penggunaan zat besi yang berkurang, retikulositopenia, anemia, lekopenia, dan trombositopenia. Hal ini karena sintesa protein mitokondria sel sumsum tulang terhambat.
b. Anemia aplastik yang berat dan irreversible, hal ini jarang terjadi dan tidak berhubungan dengan dosis serta lama terapi kloramfenikol idiosinkrasi). Hal ini diduga karena kelainan genetik atau biokimia.
3. Gray baby syndrome ditandai dengan perut distensi, muntah, kulit berwarna kelabu, hipotermi, flaccid, sianosis, napas tidak teratur, renjatan dan pembuluh darah kolap. Hal ini berhubungan dengan konsentrasi kloramfenikol di darah yang tinggi. Pada bayi baru lahir/prematur mekanisme konjugasi asam glukuronik dan filtrasi glomerulus turun, mengakibatkan akumulasi obat.
4. Interaksi dengan obat-obat lain. Kloramfenikol memperpanjang waktu paruh dan meningkatkan konsentrasi feniton, tolbutamid, klorpropamid dan warfarin, sehingga menghambat enzim mikrosomal di hati.
Penggunaan kloramfenikol dalam waktu lama dapat mengakibatkan :
1. Perdarahan, baik karena depresi sumsum tulang maupun penurunan flora normal usus yang mengakibatkan hambatan sintesa vitamin K.
2. Anemia hemolitik pada penderita defisiensi G6PD
3. Pada syaraf : neuritis optikus (dapat mengakibatkan gangguan permanen atau buta), ensefalopati, dan ototoksik.
4. Reaksi hipersensitivitas
5. Gangguan pada flora mulut dan usus yang mengakibatkan stomatitis, glositis, dan iritasi rektum.
Untuk mencegah terjadinya efek samping yang tidak diharapkan maka perlu memantau kadar kloramfenikol dalam plasma selama penggunaan obat ini dan pada penderita gangguan fungsi hati dosis obat ini diturunkan.
Kontra indikasi penggunaan kloramfenikol pada penderita demam tifoid.
1. Adanya riwayat hipersensitivitas atau toksik.
2. Tidak untuk profilaksis atau infeksi ringan
3. Adanya depresi sumsum tulang atau blood dyscrasia
4. Penyakit ginjal yang berat
5. Bayi baru lahir atau prematur
Di Pakistan pada penderita demam tifoid anak yang diobati dengan kloramfenikol (dosis 100 mg/kg BB/hari) menunjukkan angka kesembuhan 30 % dan kegagalan 68 %, penelitian Rabbani dengan dosis 50 mg/kg BB/hari menunjukan angka kesembuhan 45 % dan 55 % gagal, tetapi tidak ditemukan efek samping obat ini. Pada penelitian tersebut kesembuhan dinilai dari perbaikan klinis dan bakteriologis.
B. SEFIKSIM
Sefiksim merupakan golongan sefalosporin generasi ketiga yang dapat diberikan peroral dalam bentuk aktif. Sefalosporin pertama kali ditemukan pada tahun 1945 dari jamur Chepalosporium acremonium yang dibiakkan di laut dekat muara pantai Sardinia, dan diisolasi pertama kali pada tahun 1948 oleh Brotzu. Sediaan sefalosporin semisintetik dengan aktivitas yang lebih besar dari asalnya diperoleh dengan cara mengisolasi nukleus aktif sefalosporin C, 7-asam amino sefalosporanik dan dengan menambahkan beberapa rantai sampaing.
Sefiksim berbentuk serbuk kristal putih sampai kuning terang, sangat larut dalam air, alkohol, gliserol dan propilenglikol. Dapat larut bebas dalam 70 % sorbitol dan oktanol. Sefiksim dalam bentuk suspensi oral mempnyai pH 2,5-4,5. Rumus molekul sefiksim C10H15N5O7S2 dengan berat molekul 453,46.
Secara kimia, cara kerja dan toksisitas sefiksim hampir sama dengan penisilin tetapi lebih stabil terhadap batalaktamase bakteri sehingga mempunyai spektrum aktifitas yang lebih luas.
1. Kemasan, Cara Pemberian, Absorbsi, Distribusi, Waktu Paruh, Ekskresi dan Dosis Sefiksim
Sefiksim stabil terhadap betalaktamase bakteri, dapat diperoleh dalam bentuk trihidrat dan dosis pemberian diteruskan dengan sefiksim anhydrous. 1,12 g substansi ekuivalen dengan 1 g sefiksim anhydrous. Sediaan ini dapat dijumpai dalam bentuk kapsul dan suspensi/sirup.
Sefiksim memiliki beberapa ciri unik untuk kelompok sefalosporin, antara lain memiliki substitusi vinil pada atom C2 yang memperpanjang waktu paruh menjadi berlipat ganda dibandingkan dengan sefalosporin oral lainnya, 2-karboksimetoksiimino menambah stabilitas terhadap enzim betalaktamase yang merupakan ciri kemantapan struktur dan keampuhan obat betalaktam pada umumnya. Tambahan dari struktur 2-aminotiazil telah memperluas dan meningkatkan spektrum antimikroba dan daya pemusnah terhadap kuman.
Hanya 40-50 % dari dosis oral sefiksim diabsorbsi dari saluran cerna. Hal ini tidak dipengaruhi oleh makanan di saluran cerna, meskipun kecepatan absorbsi menurun bila ada makanan. Sefiksim dalam bentuk suspensi oral diabsorbsi lebih baik daripada kapsul. Absorbsi sefiksim relatif lambat dimana konsentrasi tertinmggi di plasma 2-3 g/mL dan 3,7-4,6 g/mL dicapai dalam 4 jam setelah pemberian sefiksim 200 dan 400 mg dosis tunggal. Pada dosis oral 200 mg kadar dalam plasma 2-2,6 g/mL dan pada 100 mg kadar dalam plasma 1-1,5 g/mL. Waktu paruh di plasma 3-4 jam dan dapat lebih lama bila ada gangguan pada ginjal. 65 % sefiksim dalam sirkulasi berikatan dengan protein plasma. Penelitian Faulkner menunjukkan konsentrasi sefiksim dalam plasma dengan dosis 8-10 mg/kg BB/hari pada anak hampir sama dengan 400 mg sefiksim pada orang dewasa.
Sefiksim tidak mengalami metabolisme di tubuh. Informasi mengenai distribusi sefiksim di jaringan dan cairan tubuh terbatas. Sefiksim dapat menembus plasenta dan diekskresi dalam bentuk utuh tanpa diubah. Ekskresi obat ini melalui air kemih sebesar 50 % dalam 24 jam. Konsentrasi maksimum di air kemih 42,9; 62,2; dan 82,7 g/mL dalam 4-6 jam. Ekskresi obat ini melalui air kemih (sampai dengan 12 jam) setelah pemberian secara oral 1,5; 3 atau 6 mg/kg BB pada anak-anak dengan fungsi ginjal yang normal. Sedangkan ekskresi sisanya terbanyak dari saluran cerna (tinja) melalui empedu. Kadar obat di empedu relatif tinggi, pada dosis 100 mg mencapai 135 g/mL.
Dosis sefiksim pada terapi demam tifoid 30 mg/kg BB/hari dibagi 2 dosis perhari selama 8 hari. Pada penelitian Bhutta digunakan sefiksim 10 mg/kg BB/hari dibagi dalam 2 dosis per hari selama 14 hari.
2. Cara Kerja Sefiksim Pada S. typhi
Secara kimia, toksisitas dan cara kerja sefiksim mirip dengan penisilin. Bedanya sefiksim stabil terhadap suhu dan pH serta hidrolisa betalakamase. Hasil penelitian Shigi, Matsumoto, dan Neu, menunjukkan bahwa sefiksim stabil terhadap hidrolisa beberapa betalaktamase antara lain betalaktamase 1a, 1b, 1c, 1d, II, III, IV dan V. sefiksim bersifat bakterisidal dan bekerja dengan cara berikatan dengan satu atau lebih penicillin binding protein (PBP) yaitu PBP 3, 1a dan 1b serta dapat melakukan penetrasi ke membran luar bakteri. Hal ini dapat menghambat sintesa dinding sel dan pertumbuhan bakteri.
Dinding sel bakteri sangat esensial untuk pertumbuhan dan perkembangan bakteri normal. Peptidoglikan adalah komponen heteropolimerik dinding sel yang menjaga kestabilan dinding sel secara mekanis. Biosintesa petidoglikan melibatkan 30 enzim bakteri dan terdiri dari 3 tahapan yaitu :
a. Pembentukan prekusor yang terjadi di sitoplasma menghasilkan UDP (uridin difosfat)-asetilmuramil-pentapeptida yang disebut park nucleotide kemudian diikuti penambahan dipeptida, D-alanil-D-alanin.
b. UDP-asetilmuramil-pentapeptida dan UDP-asetilglukosamin berkaitan dengan uridin nukleotida untuk membentuk rantai polimer panjang.
c. Reaksi transpeptida yang terjadi di luar membran sel, dimana residu terminal glisin dari jembatan pentaglisin berikatan dengan residu ke-4 penta peptida (D-alanin), melepaskan residu ke-5 (D-alanin)
Tahap akhir sintesa peptidoglikan ini dapat dihambat oleh sefiksim.
Antibiotika betalaktam mempunyai struktur yang analog dengan substrat D-ala-D-alamiah dan diikat secara kovalen oleh PBP 3, 1a, 1b di reseptor aktif yang mengakibatkan asilasi transpeptidase sehingga terjadi hambatan reaksi transpeptidasi, akibatnya peptidoklikan dihambat.
Penelitian Curtis dkk tahun 1979 dan Curtis tahun 1981 menunjukkan bahwa hambatan PBP 3 pada sintesa sebagian dinding sel oleh antibiotika ini mengakibatkan pembentukan filamen yang panjang dan berlangsung 4-6 generasi lalu rusak. Pembentukan filamen ini diikuti kerusakan fungsi barier membran luar yang terbukti dengan adanya kebocoran betalaktamase periplasma yang cepat. Menurut Kucers dan Bennett hambatan pada sintesa dinding sel bakteri oleh sefiksim tersebut dapat menyebabkan beberapa varian defisiensi dinding sel bakteri yang disebut protoplas (tidak berdinding sel), sefreoplas (dinding sel defek) dan varian fase-L. hal ini menyebabkan dinding sel bakteri lemah, mudah robek dan akhirnya rusak oleh tekanan mekanis pada masa sitoplasma yang meningkat secara normal, sehingga akhirnya sel mati.
Cara kerja :
Sefiksim (analog D-ala-D-ala)
Ikatan demam PBP 3, 1a, 1b di reseptor aktif
Asiliasi transpeptidase Dinding sel > berpori
Hambatan transpeptidase Kontrol selular otolisin hodrolase
ditekan
Sintesa dinding sel bakteri dan
Pertumbuhan bakteri Kebocoran otolisin
Pembentukan foilamen dan Otolisis peptidoglikan
dinding sel tak sempurna
Dinding sel lemah, mudah robek
Tekanan mekanis
Masa sitoplasma
Dinding sel rusal Bakteri mati
Sel bakteri mengandung enzim yang mensintesa peptidoglikan dan otolisin (menyebabkan otolisis peptidoglikan). Sefiksim menekan kontrol seluler otolisin endogen (otolisin hidrolase) yang mengakibatkan otolisis dan kematian bakteri. Diduga hal ini disebabkan oleh hambatan sefiksim yang mengakibatkan dinding sel menjadi lebih berpori sehingga terjadi kebocoran inhibitor otolisin lebih efektif. Peptidoglikan/otolisin hidrolase endogen merupakan mediator penting pada kematian sel setelah paparan oleh antibiotika ini. Lisisnya bakteri akibat sefiksim ini tergantung pada aktivitas otolisin hidrolase. Beberapa bukti menunjukkan bahwa sefiksim yang berkaitan dengan PBP 1 menyebabkan hilangnya hambatan terhadap otolisin.
Sefiksim hanya bersifat bakterisidal bila sel bakteri sedang tumbuh dan mensintesa pada dinding sel.
3. Keuntungan Terapi Sefiksim pada Demam Tifoid
Hasil penelitian Matsumato K di Jepang pada tahun 1999 menunjukkan bahwa keuntungan sefiksim pada terapi demam tifoid adalah :
1. Mempunyai daya penetrasi ke dalam sel terinfeksi yang baik sehingga konsentrasi sefiksim lebih besar daripada kadar hambat minimal untuk S. typhi.
2. Mempunyai efikasi yang tinggi
3. Dapat diberikan pada anak-anak
4. Dapat diberikan secara oral
5. Sefiksim stabil terhadap betalaktamase dan penisilinase
Menurut Hadinegoro kelebihan sefiksim yaitu : dapat menembus jaringan dengan baik dan dapat melakukan penetrasi ke tempat inflamasi atau makrofag yang terinfeksi sehingga konsentrasinya di tempat inflamasi > MIC, efektif terhadap S. typhi (MIC 90 < 0,25 ug/ml) dan S. typhi yang resisten terhadap amoksisilin. 4. Efek Samping Sefiksim Dari beberapa laporan, efek samping sefiksim jarang terjadi. Adapun efek samping sefiksim sebagai berikut : 1. Renjatan 2. Reaksi hipersensitivitas terutama pada penderita alergi sefalosporin 3. Granulositopenia, eosinofilia, trombositopenia 4. Peningkatan SGOT, SGPT, dan laklaifosfotase 5. Gangguan fungsi ginjal 6. Gangguan pada saluran cerna terutama diare, nyeri abdomen, mual, nafsu makan turun, obstipasi 7. Gangguan pada flora normal mulut antara lain : stomatitis, kandidiasis 8. Defisiensi vitamin K yang menyebabkan hipoprotrombinemia dan tendensi perdarahan 9. Defisiensi vitamin B antara lain glositis, stomatitis, neuritis, nafsu makan turun 10. Lain-lain : sakit kepala, pusing Dosis sefiksim pada penelitian Girgis 10 mg/kg BB/hari dibagi 2 dosis selama 12 hari dengan angka kesembuhan 100 % atau dosis tunggal 25 mg/kg BB/hari selama 8 hari dengan angka kesembuhan 96 %, Memon menggunakan dosis 10-12 mg/kg BB/hari selama 14 hari dengan angka kesembuhan 95 % dan penelitian Rabbani menggunakan dosis 10 mh/kg BB/hari dibagi dalam 2 dosis per hari selama 14 hari dengan angka kesembuhan 93,3 %. Pada beberapa penelitian tidak ditemukan efek samping obat ini, tetapi pada penelitian Talley ditemukan efek samping berupa diare ringan (13,8 %) dan diare sedang-berat (5 %), nyeri perut (6 %), mual (7 %), muntah (1,2 %), obstipasi (9 %), sakit kepala (11,6 %) dan pusing (3 %). Pada penelitian WuDH ditemukan efek samping berupa urtikaria (1,5 %), diare (6,35 %), nyeri perut (0,4 %), mual (0,09 %), dan obstipasi (1 %). Pada penelitian Bhutta hanya 8 % penderita mengalami efek samping berupa diare ringan dan pada penelitian Grigis ditemukan mual, muntah serta nyeri perut ringan sebagai efek samping obat ini selama terapi. Pada penelitian Fam di Mesir tidak ditemukan adanya efek samping obat maupun kekambuhan pada anak-anak yang mendapat terapi sefiksim. C. CORTIMOXAZOL (TRIMETHOPRIM/SULFAMETHOXAZOL = 1 : 5) (Chemotherapeuticum dan Sulfonamid-Antibioticum, Bactericid) 1. Farmakokinentik a. Trimethoprim (TMP) BM : 290 - Ketersediaan biologik : 100 %. - Volume distribusi : 1,8 l/kg, dalam LCS sampai 50 % dari kadar dalam plasma. - Ikatan protein plasma : 44 %. - Waktu paruh plasma : 10 jam. - Eliminasi : 70 % dieliminasi renal tanpa diubah, sisanya sebagian dimetabolisme menjadi metabolit yang bersifat aktif farmakologik. b. Sulfamethoxazol (SM) BM : 253 - Ketersediaan biologik : 100 %. - Volume distribusi : 0,3 l/kg. - Ikatan protein plasma : 65 %. - Waktu paruh plasma : 11 jam. - Eliminasi : 20 % dieliminasi renal tanpa diubah, sisanya didalam hati dimetabolisme menjadi metabolit yang tidak aktif (Acetylasi dan Glucuronidasi). 2. Dosis - Pemberian po dibagi dalam pemberian setiap 8 –12 jam : a. Dewasa dan anak > 12 tahun : TMP 320 mg/hari, SM : 1600 mg/hari (dosis harian maksimal : TMP 480 mg, SM : 2400 mg).
b. Anak > 6 tahun : TMP 160 mg/hari, SM 800 mg/hari.
c. Anak > 2 tahun : TMP 80 mg/hari, SM 400 mg/hari.
d. Anak > ½ tahun : TMP 80 mg/hari, SM 400 mg/hari.
e. Anak > 6 minggu : TMP 40 mg/hari, SM 200 mg/hari.
f. Anak > 6 minggu : tidak ada pemberian TMP dan SM.
- Pemberian parenteral
Pemberian iv paling baik sebagai infus singkat dibagi dalam pemberian setiap 8 – 12 jam :
- Dewasa dan anak > 12 tahun : TMP 320 mg/hari, SM 1600 mg/hari (dosis harian maksimal : TMP 480 mg, SM 2400 mg)
- Anak > 6 tahun : TMP 160 mg/hari, SM 800 mg/hari.
3. Kadar Terapeutik di dalam Plasma
- Setelah pemberina po atau iv infus singkat sebesar 160 mg TMP dan 800 mg SM dicapai kadar didalam plasma untuk TMP sebesar 1,5 – 4,0 g/ml, dan untuk SM sebesar 40 – 100 g/ml.
- Kuman yang rentan : C. diphtheriae, H. influenzae, beberapa jenis E. coli, N. gonorrhoeae dan meningitidis, Klebsiella, Streptococcus pneumoniae, Shigella, Enterobacter, Citrobacter, Acinetobacter, P. mirabilis, Brucella, Chlamydia.
- Kuman yang resisten : Ps. Aeruginosa, jenis bacteroides.
4. Efek yang tak diharapkan
- Sakit dan Thrombophlebitis pada tempat injeksi.
- Mual, muntah, sakit perut, mencret, pada kasus berat : Colitis pseudomembranosa (terapi : Vancomycin po), Stomatitis, Glositis.
- Ulserasi Oesophagus bila minum obat dengan cairan yang tidak cukup.
- Leukopenia, Thrombopenia, Pancytopenia, sangat jarang : Agranulositosis.
- Jarang : Sakit kepala, pusing, tidak bisa tidur, pendengaran bising, Ataxia, serangan kram cerebral (terutama pada kelebihan dosis), depresi, hallusinasi.
- Jarang : Hypoprothrombinemia dan kadang terjadi dysfungsi Thrombosit (waktu Thromboplastin dan waktu perdarahan dikontrol!).
- Peninggian Kreatinin-Serum, Cylindriuria, Kristaluria (keluar kristal sulfonamid didalam urin).
- Jarang : peninggian Transaminase, hepatitis cholestatik, nekrose hati, pancreatitis.
- Penting dalam klinik : Exanthema, Urticaria, rangsangan gatal, demam, photosensibilitas, jarang : Anaphylaxie, dermatitis eksfoliativa, Stevens-Johnson-Syndrom, Vasculitis nekroticans, SLE.
- Oleh karena kandungan Natriumdisulfit dan Natriumsulfit dalam cairan infus dapat menimbulkan reaksi hypersensitifitas dan serangan Asthma akut terutama pada pasien disposisi.
5. Interaksi Obat
- Antacida menurunkan resorpsi Sulfonamid.
- Peningkatan efek dari Antikoagulant oral, Antidiabetica oral, Methotrexat, Phenytoin, Phenylbutazon.
- Pada pemberian yang bersamaan dengan Diuretica Thiazid terutama pada pasien tua meningkatkan insiden Thrombopenia.
- Meningkatkan insiden suatu Anemia megaloblastik, melalui obat yang dapat menyebabkan kekurangan Asam Folat seperti misalnya Chloroquin, Pyrimethamin (> 25 mg/minggu), Phenytoin, Phenobarbital, Primidon, Methotrexat.
- Reaksi penolakan dari Alkohol dipte Disulfiram.
- Allergi silang dari Sulfonamid dengan Antidiabetica oran (derivat Sulfonylurea) adalah mungkin.
6. Merek Preparat
- Bactricid/forte® (Tab TM 80 mg SMZ 400 mg, kaplet forte TM 160 mg SMZ 800 mg, paed tab TM 20 mg SMZ 100 mg, Syrup TM 40mg SMZ 200 mg/5 ml).
- Bactrim® (tab TM 80 SMZ 400 mg, paed tab TM 20 mg SMZ 100 mg, tab forte TM 160 SMZ 800 mg, syrup TM 40 mg SMZ 200 mg/5 ml).
- Bactrim im/iv® (Inj. im amp. 3 ml : TM 160 mg SMZ 800 mg, Inj. iv amp., 5 ml : TM 80 mg SMZ 400 mg).
- Cotrimol® (caps /10 ml syrup : TM 80 mg SMZ 400 mg).
- Decatrim® (tab TM 80 mg SMZ 400 mg, paed tab TM 20 mg SMZ 100 mg, syrup per 5 ml TM 40 mg SMZ 200 mg).
- Kotrimoksazol® (tab TM 80 mg SMZ 400 mg, paed tab TM 20 mg SMZ 100 mg).
- Ottoprim® (tab TM 80 mg SMZ 400 mg, pae TM 20 mg SMZ 100 mg).
- Primadex® (Kaplet TM 80 mg SMZ 400 mg, 5 ml syrup TM 40 mg SMZ 200 mg).
- Sanprima® (tab TM 80 mg SMZ 400 mg, 5 ml syrup TM 40 mg SMZ 200 mg).
D. AMPISILINA (Amino-Penici;;in, Bactericid)
1. Farmakokinentik BM : 349
- Ketersediaan biologik : 100 %.
- Volume distribusi : 0,3 l/kg (pada anak-anak : 0,75 l/kg). Masuk ke dalam LCS hanya pada peradangan Mening.
- Ikatan protein plasma : 20 %.
- Waktu paruh plasma : 1,5 jam (bayi baru lahir : 3,5 jam).
- Eliminasi : 80 % dieliminasi oleh ginjal dalam keadaan tak diubah, sisanya dimetabolisme di dalam hati menjadi metabolit yang tidak aktif dan sebagian dieliminasi ke dalam empedu, sirkulasi enterohepatik. Ampicillin dapat didialisa.
2. Dosis
- Pemberian iv paling baik sebagai infus singkat dibagi dalam pemberian setiap 6-8 jam :
a. Dewasa : 2-8 g/hari (sampai 15 g/hari).
b. Anak : 100-200 (sampai 400 mg/kg/hari).
- Pemberian po dalam lambung yang kosong dibagi dalam pemberian setiap 6-8 jam sekitar ½ jam sebelum makan :
a. Dewasa : 2-4 (kadang samapi 8) g/hari)
b. Anak : 100-200 mg/kg/hari.
- 1 g Ampicillin mengandung 2,7 mval Natrium.
3. Kadar Terapeutik dalam Plasma
- Pada pemberian 0,5 g Ampicillin po setelah 2 jam akan dicapai kadar di dalam plasma sebesar 3 g/ml, pada pemberian 0,5 g iv setelah 1 jam mencapai 8 g/ml. Kadar di dalam urin sekitar 50 kali lebnih tinggi.
- KHM (Kadar Hambat Minimal) < 2 g/ml : Streptococcus, Entercoccus, Meningococcus, Pneumococcus, H. Influenzae, Shigella, Listeria monocutogenes, Clostridia. - KHM < 6 g/ml : E. Coli, P. mirabilis, beberapa jenis Salmonella. - KHM > 250 g/ml : S. aureus yang membentuk -Lactamase, Ps. Aeruginosa, Jenis Proteus, Klebsiella, Acinetobacter.
4. Efek yang tak diharapkan
- Sakit dan Thrombophlebitis pada tempat injeksi.
- Mencret, pada kasus berat : Colitis pseudomembranosa (penanganan : pemberian Vancomycin po).
- Mual, muntah, lambung terasa terbakar, sakit epigastrium.
- Irritasi neuromuskuler, hallusinasi (khusus penglihatan dan pendengaran) sampai dengan serangan kram cerebral (hanya pada dosis yang tinggi dan fungsi ginjal yang menurun).
- Neutropenia toksik dan kadang Anemia hemolitik.
- Exanthema macula atau maculopapulosa yang tak mencurigakan pada sekitar 10 % dari pasien, lebih sering pada Mononukleosis infeksiosa (40-100 %) dan pada insufisiensi ginjal).
- Manifestasi allergi (keseringannya berkurang dari kiri ke kanan) seperti : Exanthem, Dermatitis exfoliativa, Stevens-Johnson-Syndrom, Angioedema, Anafilaksi.
- Jarang : Nephropathie allergik atau Nephritis interstitiel.
- Superinfeksi misalnya dengan Candida albicans.
5. Interaksi Obat
- Eliminasi Ampicliin diperlambat pad apemberian yang bersamaan dengan Uricosurica (misal : Probenecid), Diuretica dan Asam-asam lemah (misalnya Asam Acetylsalicylat, Phenylbutazon dan sebagainya).
- Pemberian yang bersamaan dengan Antacida-Aluminium tidak menurunkan ketersediaan biologik dari Ampicillin.
- Pemberian yang bersamaan dengan Allopurinol dapat memudahkan munculnya reaksi-reaksi kulit allergik.
- Mengurangi keterjaminan kontrasepsi preparat hormon.
- Allergi silang dengan Antibiotika Cephalosporin mungkin.
- Antibiotica Bacteriostatik mengurangi efek bactericidal dari Ampicillin.
- Inkompatibilitas dengan larutan Dextrose.
6. Merek Preparat
- Ampicillin® (caps 250 mg, tab 500 mg, inj. 250; 500; 1000 mg, syrup 250 mg/5ml).
- Amfipen® (tab 125; 500 mg, caps 250 mg, inj. 250; 500; 1000 mg, syrup 125 mg/5 ml).
- Ampi® (caps 250; 500 mg, tab 125 mg, syrup 125 mg/5 ml).
- Ampicen® (caps 250; 500 mg, tab 125 mg, syrup 125 mg/5 ml).
- Decapen® (caps 250; tab 500 mg, inj. 500; 1000 mg).
- Itrapen® (caps 250 mg, syrup 125 mg/5 ml).
- Kalpicillin® (tab 125; 500 mg, caps 250; 500 mg, syrup 125 mg/5 ml, inj. 250; 500; 1000 mg).
- Metapen® (caps 250; 500 mg, syrup 125 mg/5 ml).
E. AMOKSISILIN
1. Farmakokinentik BM : 365
- Ketersediaan biologik : 90 % (bersamaan dengan makan tidak berkurang).
- Volume distribusi : 0,2 l/kg (pada anak-anak : 0,75 l/kg). Masuk ke dalam LCS hanya pada peradangan Mening.
- Ikatan protein plasma : 20 %.
- Waktu paruh plasma : 1 jam (bayi baru lahir : 3,5 jam).
- Eliminasi : 80 % dieliminasi oleh ginjal dalam keadaan tak diubah, sisanya dimetabolisme di dalam hati menjadi metabolit yang tidak aktif.
2. Dosis
- Pemberian iv paling baik sebagai infus singkat dibagi dalam pemberian setiap 6-8 jam :
a. Dewasa : 3-6 (sampai 8) g/hari.
b. Anak-anak > 12 tahun : 2 (sampai 4) g/hari).
c. Anak-anak > 2 tahun : 0,5-1 g/hari.
d. Bayi dan anak kecil : sampai 0,5 g/hari.
- Pemberian po : 1,5-3,0 g/hari dibagi dalam pemberian setiap 8 jam.
- Pemberian po sirup atau suspensi : 50 mg/kg/hari dibagi dalam pemberian 6-12 jam.
- 1 g Amoksisilin menganding 3,4 mval Natrium, Amoksisilin sirup mengandung karbohidrat.
3. Kadar Terapeutik dalam Plasma
- Pada pemberian 1 g Ampicillin po setelah 1 jam akan dicapai kadar di dalam plasma sebesar 20 g/ml. Kadar di dalam urin lebih tinggi 50 kali.
- KHM (Kadar Hambat Minimal) < 2 g/ml : Streptococcus, H. Influenzae, S. Typhi, Entercoccus, Meningococcus, Pneumococcus, Listeria monocutogenes. - KHM < 16 g/ml : N. Gonorrhoeae. - KHM > 125 g/ml : Klebsiella, Bacteriodes Fragilis, beberapa S. Typhi, N. Gonorrhoeae dan keluarga Haemophilus.
- KHM > 250 mg/ml : S. Aureus, Ps. Aeruinosa, Proteus, E. Coli.
4. Efek yang tak diharapkan
- Sakit dan Thrombophlebitis pada tempat injeksi.
- Mulan, muntah, sakit perut, pada ksus yang berat : Colitis pseudomembranosis (penangnaan : pemberian po Vankomisin).
- Irritasi neuromuskuler, hallusinasi (khusus penglihatan dan pendengaran) sampai dengan serangan kejang cerebral (hanya pada dosis yang tinggi dan fungsi ginjal yang menurun).
- Neutropenia toksik dan kadang Anemia hemolitik.
- Exanthema macula atau maculopapulosa yang tak mencurigakan pada sekitar 10 % dari pasien, lebih sering pada Mononukleosis infeksiosa (40-100 %) dan pada insufisiensi ginjal.
- Allergi seperti : gatal-gatal, Urtikaria, penyakit serum, Demam (“drug Fieber”), Edema, Anafylaxie.
- Jarang : Nephropathie allergik atau Nephritis interstitiel.
- Superinfeksi misalnya dengan Candida albicans.
5. Interaksi Obat
- Eliminasi Amoksisilin diperlambat pada pemberian yang bersamaan dengan Uricosurica (misal : Probenecid), Diuretica dan Asam-asam lemah (misalnya Asam Acetylsalicylat, Phenylbutazon dan sebagainya).
- Pemberian yang bersamaan dengan Antacida-Aluminium tidak menurunkan ketersediaan biologik dari Amoksisilin.
- Pemberian yang bersamaan dengan Allopurinol dapat memudahkan munculnya reaksi-reaksi kulit allergik.
- Mengurangi keterjaminan kontrasepsi preparat hormon.
- Allergi silang dengan Antibiotika Sephalosporin, kemungkinan terjadi.
- Antibiotica Bacteriostatik mengurangi bactericidal dari Amoksisilin.
- Inkompatibilitas dengan larutan Dextrose.
6. Merek Preparat
- Abamox® (caps 250; 500 mg).
- Amobiotic® (caps 250 mg, Susp 125 mg/5 ml).
- Amoxil® (caps 250; 500 mg, tab 250 mg, syrup 125 mg/5 ml, syrup forte .250 mg/5 ml, paed. Drops 125 mg/1,25 ml, Inj. 250 mg)
- Amoxicillin® (caps 250; 500 mg, Tab 125 mg, syrup 125 mg/5 ml).
- Amoxsan® (caps 250; 500 mg, syrup 125 mg/5 ml).
- Amoxycillin® (caps 250; 500 mg, syrup 125 mg/5 ml).
- Decamox® (kaplet 350; 500 mg, syrup 125/5 ml, 250 mg/5 ml).
- Intermoxil® (caps 250; 500 mg, syrup 125 mg/5 ml).
- Kalmoxillin® (caps 250; 500 mg, tab 125 mg, kaplet 500 mg, syrup 125/5 ml).
- Kimoxil® (caps 250; 500 mg, syrup 125 mg/5 ml; 250 mg/5 ml)
- Ospamox® (caps 250 mg, tab 500 mg, syrup 125; 250 mg/5 ml, drops 100 mg/ml).
Post a Comment for "Terapi Demam Tiphoid pada Anak"