LAPORAN MANAJEMEN KEGIATAN OUTREACH PROGRAM GRIYA ASA PKBI KOTA SEMARANG
Disusun oleh:
Dwisetyo AL 0810221070
Marissa Luthfi 0810221075
M.Hafiz Nasrulloh 0810221082
Mohamad Fikih 0810221107
PRAKTEK BELAJAR LAPANGANGRIYA ASA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL JAKARTA
SEMARANG
2010
BAB I
PENDAHULAN
I. Latar Belakang
Infeksi HIV di Indonesia cenderung tetap meningkat pada masa lima tahun mendatang berkaitan dengan bertambah banyaknya hubungan seksual yang tidak terlindungi dan penularan HIV melalui jarum suntik penyalahguna narkotika, psikotropika dan zat adiktif (napza). Persentase kumulatif kasus AIDS di Indonesia menurut faktor risiko sampai dengan Desember 2007 adalah 49,86% Injecting Drug User (IDU), 41,86% heteroseksual, 3,90% homoseksual, 2,59% transmisi perinatal, 1,70% dari transfusi darah dan 2,59% tidak diketahui.1
Jumlah kasus HIV di Kota Semarang sampai dengan bulan Oktober 2006 sebanyak 132 kasus dengan 63 penderita berjenis kelamin pria dan 69 penderita berjenis kelamin wanita. Jumlah kasus HIV di Kota Semarang menurut risiko pekerjaan pada tahun 2007 adalah 100 kasus pelanggan WPS, 64 kasus WPS, 17 kasus IDU dan 4 kasus waria.2
Untuk mengurangi angka kesakitan IMS dan HIV AIDS di Jawa Tengah, PKBI Jawa Tengah dan Dinas Kesehatan membentuk Griya ASA pada tanggal 10 Januari 2002. PKBI Semarang mendapat kepercayaan dari PKBI Jawa Tengah untuk melaksanakan program ASA-FHI di lokalisasi Sunan Kuning Kota Semarang. Program ini bertujuan untuk memberikan informasi tentang IMS, HIV/ AIDS kepada PSK (Pekerja Seks Komersial) dan pelanggannya, serta cara pencegahannya melalui pendekatan pendampingan (outreach).3
Outreach merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk menjangkau orang-orang yang berisiko tinggi, seperti : para WPS, homoseks, IDU dan waria dengan cara melakukan kontak langsung dan tatap muka secara intensif kepada orang yang berperilaku berisiko tinggi di lingkungan mereka. Kegiatan tersebut meliputi pemberian informasi materi pencegahan penyakit yang termasuk infeksi menular seksual dan HIV/AIDS. Faktor risiko penularan tersebut yang menjadikan permasalahan HIV dan AIDS berkaitan dengan sosio-ekonomi-pertahanan-keamanan-budaya, disamping permasalahan jumlah yang semakin membesar. Sehingga permasalahan menjadi kompleks.4
WPS merupakan salah satu populasi berisiko tinggi terinfeksi HIV dan IMS lainnya akibat seringnya berhubungan seks berganti-ganti pasangan dan seringkali hubungan seks tersebut dilakukan secara tidak aman. Pencegahan penyakit infeksi menular di wilayah Sunan Kuning ditujukan kepada para WPS dan mucikari. Kepada para WPS, yaitu dengan memberikan informasi seputar infeksi menular seksual dan HIV/AIDS, khususnya bagaimana cara penularan dan pencegahan penyakit-penyakit tersebut. Selanjutnya adalah mengajak WPS agar rutin melakukan skrining-VCT dan para pelanggan agar selalu menggunakan kondom. Kepada para mucikari agar mengingatkan anak asuhnya (WPS) untuk selalu rutin melakukan skrining-VCT dan menganjurkan penggunaan kondom kepada para tamunya.
Salah satu kelompok beresiko adalah WPS di Resosialisasi Sunan Kuning semarang. Lokalisasi Sunan Kuning merupakan lokalisasi yang paling besar di kota Semarang dengan hampir 723 populasi WPS (berdasarkan data PKBI kota Semarang bulan Mei 2010) dengan jangkauan tersebar di Gang 1 sampai dengan Gang 6.
MAP SUNAN KUNING
II. TUJUAN
1. TUJUAN UMUM
• Meningkatkan kesadaran individu maupun kelompok berisiko mengenai perilaku hidup sehat seperti pemakaian kondom saat berhubungan seks, mencuci vagina setelah berhubungan seks dan melakukan pemeriksaan VCT dan skrining.
2. TUJUAN KHUSUS
• Meningkatkan pengetahuan kelompok dukungan (KD) agar mengerti tentang kesehatan reproduksi serta penyakit – penyakit yang dapat ditularkan melalui hubungan seksual pada 723 WPS selama 1 tahun.
• Meningkatkan pengetahuan yang terkait dengan HIV dan AIDS pada 273 WPS selama 1 tahun
• Meningkatkan kesadaran akan risiko terjadinya infeksi menular seksual (IMS) dan HIV-AIDS pada 723 WPS selama 1 tahun
III. SASARAN
Sasaran dari kegiatan outreach ini adalah wanita pekerja seks, mucikari dan pengurus resos yang berada di lokalisasi Sunan Kuning Semarang.
IV. TARGET
Target yang ingin dicapai adalh mampu menekan jumlah penderita IMS dan HIV-AIDS, diantaranya seluruh WPS yaitu 723 WPS menggunakan kondom 100% dalam waktu 1 tahun setelah dilakukan penyuluhan, menurunnya angka IMS di Sunan Kuning 50% dalam waktu 1 tahun, seluruh WPS (723 WPS) melakukan VCT rutin setiap 3 bulan sekali dan skrining setiap 2 minggu sekali walaupun dipungut biaya.
V. PRINSIP PELAKSANAAN
• Kesetaraan: Memandang KD setara dengan semua orang, sehingga KD mempunyai pilihan untuk mengubah perilaku.
• Pemberdayaan: Proses yang memungkinkan seseorang mengambil tindakan dan kontrol dalam rangka memecahkan masalah.
• Kerahasiaan: Menjaga kerahasiaan informasi KD termasuk orientasi, perilaku seksual, dan kondisi KD, termasuk menggunakan foto KD untuk presentasi.
• Kepercayaan: Dapat diperoleh dengan menjaga kerahasiaan KD. Petugas Lapangan (PL) harus dapat membatasi diri untu menghindari KD terlalu tergantung pada PL.
• Komunikasi Timbal Balik: PL tidak hanya memberikan informasi melainkan memperoleh informasi dari KD mengenai hambatan yang dihadapi dalam mengubah perilaku.
• KD merupakan subyek dalam perubahan perilaku: Program lebih berorientasi pada keadaan dan kebutuhan KD dan KD adalah keputusan atas perubahan perilakunya.
• Pendekatannya bersifat inter personal: PL memahami KD sebagai person dan individu sehingga perubahan perilaku yang dituju mungkin sama tetapi cara mengkomunikasikannya berbeda.
• Berkesinambungan: Perubahan perilaku merupakan proses yang berkesinambungan, dimana PL diharapkan mendukung KD secara berkelanjutan.
VI. STRATEGI
Dengan pendekatan sistem, maka manajemen outreach dapat dijabarkan sebagai berikut :
1. Menambah jumlah PL
2. Memotivasi WPS, mucikari, PE dan Resos untuk mengubah perilaku
Petugas lapangan yang dipilih adalah orang yang dapat diterima oleh KD. Petugas lapangan yang baik adalah sebagai berikut :
1. Berasal dari komunitas tertutup tersebut
2. Tidak berasal dari komunitas tertutup tetapi direkrut karena mereka memiliki hubungan baik dengan KD
3. Memiliki pengaruh di komunitas
4. Bukan merupakan KD namun mengetahui situasi dan karakteristik KD
5. Bukan berasal dari komunitas tetapi mereka peduli mengenai KD dan mengetahui masalah HIV
6. Mengikuti kode etik PL
Tugas petugas lapangan :
1. Memberikan informasi
2. Mendistribusikan materi pencegahan dan media KIE
3. Mempromosikan perilaku lebih aman
4. Merujuk KD
5. Memantau skrining dan VCT pada WPS
6. Melakukan penjangkauan kepada WPS baru dan pendampingan kepada WPS lama terlebih pada WPS yang masih mengidap IMS positif selama 3 kali pemeriksaan
Kode Etik Petugas Lapangan :
1. Tidak memaksakan kehendak
2. Menghormati privasi
3. Menjaga kerahasiaan KD
4. Tidak mengambil keuntungan pribadi
5. Menjaga nama baik lembaga
6. Netral
7. Tidak Berhubungan intim dengan KD
8. Mengutamakan kepentingan lembaga
9. Tidak mencampuri urusan pribadi KD
10. Empati, non judmental dan sensitif gender
11. Tidak mendiskriminasi atas dasar apapun
Tim penjangkau Lokalisasi Sunan Kuning (SK) adalah Wiwik, Rara dan Anang. Rara menjangkau RT 1-2 dengan jumlah populasi WPS 236 orang, sedangkan Wiwik menjangkau RT 3-4 dengan jumlah populasi WPS 291 orang dan Anang menjangkau RT 5-6 dengan jumlah populasi WPS 214 orang.
Selain petugas lapangan, peer educator memegang peranan penting dalam pelaksanaan outreah. Peer educator adalah penyidik sebaya yang berperan sebagai penghubung antara petugas lapangan dengan KD dan sebagai sumber informasi terdekat bagi KD. Peer educator (PE) berasal dari KD, karena diharapkan proses penerimaan informasi akan berjalan dengan lebih mudah karena adanya profesi yang sama antara PE dengan KD. PE direkrut dari orang-orang yang memiliki kemampuan dan menulis, berkemauan kuat serta merupakan orang yang cukup berpengaruh di lingkungan KD.
Tahap melakukan program Outreach yaitu :
1. Penilaian Kebutuhan Segera
• Identifikasi masalah dan menentukan perilaku yang diharapkan
• Identifikasi KD dan memahami jaringan sosial, budaya dan lingkungan
• Pemahaman produk dan layanan yang tersedia di masyarakat
• Identifikasi pembuat keputusan kunci dan pemangku kepentingan di masyarakat
2. Perencanaan
• Mengembangkan rencana kerja mencakup :
• Melakukan kontak dengan KD
• Memberikan informasi mengenai pemakaian kondom dan pelicin yang benar serta negosiasi pemakaian kondom
• Membentuk dan mempromosikan outlet kondom non tradisional
• Menciptakan dan mempromosikan jaringan rujukan berbasis masyarakat yang memberikan layanan berkesinambungan untuk masyarakat
• Membentuk dan mengatur kelompok dukungan sebaya
• Membangun dan mempertahankan hubungan baik dengan masyarakat dan pemangku kepentingan
• Menciptakan lingkungan yang mendukung perubahan perilaku
• Melibatkan pemangku kepentingan dalam berbagai kegiatan
3. Pelaksanaan
TINGKAT INDIVIDU
• Memberikan informasi tentang IMS, HIV dan AIDS
• Membantu KD menilai risiko mereka
• Mendekatkan KD pada kegiatan sesuai yang mereka butuhkan
• Mendampingi KD untuk melakukan perubahan perilaku
KELOMPOK
• Membenttuk Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) dan memfasilitasi penilaian risiko kelompok
• Mendekatkan KD pada kegiatan yang seusai dengan kebutuhan mereka
• Melakukan Program Pendidikan Teman Sebaya
4. Monitoring dan Evaluasi
• Proses
• Kinerja
• Hasil
VII. INDIKATOR KEBERHASILAN
Pada kegiatan outreach, indikator keberhasilan dilihat dengan :
1. Adanya penggunaan kondom 100% di Sunan Kuning
2. Menurunnya angka IMS di Sunan Kuning
3. WPS mau datang untuk diperiksa kesehatannya walaupun harus membayar
Indikator keberhasilan ini ditujukan kepada PRI (WPS) dan PRK (Wisma) serta para mucikari yang ada di Sunan Kuning. Untuk mengetahuinya maka dilakukan skrining tiap 2 minggu dan VCT tiap 3 bulan bagi para WPS.
VIII. KEGIATAN
Telah banyak kegiatan yang dilakukan Griya ASA untuk menahan epidemi IMS dan HIV-AIDS, antara lain :
1. Mapping rutin
Mapping adalah kegiatan rutin tentang situasi dan kondisi di Lokalisasi. Mapping ini terkait dengan lingkungan sekitar lokalisasi yaitu, tentang jumlah dan karakteristik WPS (turn over), jumlah wisma/ karaoke, jumlah outlet kondom, jumlah dan karakteristik stakeholder non pemerintah yang mendukung (ojek, warung, pengamen, operator karaoke, mucikari dan pengurus Resos, pelayanan kesehatan yang ada Puskesmas, Griya Asa, praktik swasta.
2. Pembentukan PE Anak Asuh dan PE Mucikari (dilakukan bersama KPI)
Dalam SA terdahulu ada kuota PE Anak Asuh, untuk SK 32 WPS terpilih, Namun dalam perjalanannya sekarang, ada suatu kebutuhan yang merupakan pemikiran progresif dari pengurus Resos yang disampaikan kepada Griya ASA agar membantu proses pembentukan PE untuk tiap-tiap wisma. Dan sistem ini telah dilakukan. Ada masing-masing koordinator di tiap wisma. Dan sistem ini telah dilakukan. Ada masing-masing koordinator di tiap wisma yang diberikan tanggung jawab mengurusi form peencatatan PPK 100% oleh pengurus Resos. PE mucikari dibentuk karena adanya kebutuhan lingkungan akan pendidik bagi sesama mucikari, sehingga program pemakaian kondom 100% dan lingkungan kondusif yang sadar kesehatan akan terwujud.
3. Pelatihan-pelatihan khususnya yang mendukung program
Pelatihan-pelatihan yang diadakan di lokalisasi bertujuan untuk memberikan tambahan informasi dan skill peserta. Misalnya pelatihan untuk PE yang berkaitan dengan informasi kesehatan, sadar gender dan HAM, pelatihan skill usaha (salon, menjahit, dll.)
4. Advokasi pada pengurus Resos dan tokoh masyarakat (birokrat structural kemasyarakatan, misal ketua RT, RW, Kelurahan, dsb) terkait dengan suksesnya PPK 100%.
Advokasi yang dilakukan untuk membentuk kerjasama yang saling menguntungkan antara Griya ASA dan Pengurus Resos serta tokoh masyarakat. Misalnya adanya pendataan bagi WPS lokalisasi sebagai pekerja oleh pengurus Resos dan Griya ASA, serta sebagai penduduk sementara oleh birokrat struktural kemasyarakatan. Dengan adanya data yang jelas, diharapkan dapat meminimalisir jika terdapat suatu kejadian yang tidak diinginkan.
5. Pembentukan wisma sebagai outlet kondom dan anak asuh sebagai stokist pribadi pemakaian kondom
Saat ini baik di SK maupun GBL, wisma telah menjadi outlet kondom yang didistribusi oleh pengurus Resos. Bahkan dalam perkembangannya sekarang distribusi kondom langsung diserahkan kepada anak asuh sehingga anak asuh dapat dengan leluasa memakai kondom tanpa harus meminta kepada mucikari. Dalam hal ini anak asuh dapat disebut sebagai stokist pribadi pemakai kondom.
Pemakaian kondom juga diawasi oleh mucikari. Pengawasan ini dituntut karena adanya form yang mengharuskan adanya controling dari mucikari yang tiap minggu dikumpulkan kepada pengurus Resos.
6. Penyusunan Regulasi Lokal 3 Resos di Kota Semarang dan Kab. Kendal.
Pada tanggal 8 april 2008 di RM. Baron Semarang telah disepakati suatu regulasi yang berisi mengenai kewajiban pemakaian kondom 100% dan pemeriksaan kesehatan (skrining dan VCT) secara rutin. Regulasi ini merupakan buah pemikiran dari bentuk kesadaran akan misi penanggulangan IMS dan HIV-AIDS dari Griya ASA dan 3 Resos (Argorejo, Rowosari Atas, Sumberejo). Ke empat pihak tersebut menyadari bawa penurunan angka IMS dan HIV-AIDS hanya dapat diwujudkan bila secara serentak dan seragam diterapkan di 3 lokalisasi yang saling berdekatan. Kolaborasi ini merupakan suatu kekuatan penuh yang dimotori oleh pengurus masing-masing resos, sehingga kesadaran dan kebiasaan memakai kondom dan pemeriksaan kesehatan (skrining dan VCT) secara rutin dari anak asuh, muikari dan pengurus yang mulanya merupakan paksaan akibat adanya regulasi lokal ini dapat terwujud. Regulasi lokal ini juga memuat reward dan punishment bagi anak asuh, mucikari maupun pengurus. Saat ini Regulasi Lokal telah disetujui dan didukung penug oleh ketua KPAD Semarang. Selain itu didukung pula oleh DKK Semarang dengan adanya kewajiban menyerahkan dan mengisi form ccontroling pemakaian kondom anak asuh di tiap wisma.
BAB II
LAPORAN KASUS
I. Identitas Responden
Nama : Ny. A
Tempat, tanggal lahir : Garut, 8 Maret 1979
Umur : 31 tahun
Jenis Kelamin : Wanita
Agama : Islam
Pekerjaan : WPS
Pendidikan : Tidak Sekolah
Alamat : Komplek Sunan Kuning Gang 2 Semarang
II. Hasil Wawancara
Responden mengaku berasal dari kota Garut, Bandung, dan sudah Tinggal Serta bekerja di komplek Sunan Kuning sebagai WPS baru 4 bulan. Responden pertama kali datang ke Sunan Kuning pada tahun April 2010. Sebelum menjadi seorang WPS, responden pernah menikah selama ± 6 tahun dan tinggal di jakarta bersama suaminya, suami responden bekerja sebagai karyawan perusahaan swasta di Jakarta dan memiliki 1 orang putra. Responden mengaku bahwa suaminya seringkali keluar kota dengan alasan pekerjaan tanpa berpikiran yang aneh-aneh terhadap suaminya, namun akhirnya pernikahannya tidak bertahan lama karena responden mengetahui bahwa suaminya berselingkuh dengan wanita lain, responden akhirnya bercerai dengan suami dan memilih pindah kerumah orangtuanya dibandung. Responden sudah berusaha bekerja di salah satu salon kecantikan dibandung untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga yang ditanggungnya sendiri.
Responden Merasa pekerjaannya tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya karena gaji yang diterima per bulan hanya Rp. 500.000,- Pada saat itu, ada seorang teman yang menawarkan pekerjaan sebagai WPS di sunan kuning, responden menerima tawaran seorang teman responden yang juga seorang WPS di Sunan Kuning karena harus membiayai ibunya dan pendidikan anak semata wayangnya yang kini berusia 6 tahun. Selama responden bekerja sebagai WPS disunan kuning responden mengaku bahwa identitas dan aktivitas pekerjaannya tersebut tidak diketahui oleh orang tua, keluarga maupun anaknya. Responden mengaku walaupun bekerja di sunan kuning, responden tetap menjaga komunikasi dengan anak semata wayangnya dan selalu memantau kegiatan anaknya melalui telfon genggam dan setiap 3 minggu sekali responden pulang untuk menjenguk dan memberikan uang kepada anaknya dirumah ibunya di bandung.
Selama bekerja disunan kuning selama 4 bulan, Responden sudah memiliki pelanggan tetap, dalam sehari responden hanya bersedia melayani 5 orang tamu, biasanya responden melakukan hubungan sex dengan pelanggannya melalui vagina dan responden selalu menyarankan pelanggannya untuk menggunakan kondom setiap saat berhubungan sex dan menolak pelanggan yang tidak menggunakan kondom. Responden memasang tarif untuk short time sebesar Rp. 100.000,- sedangkan bila lama dikenakan tarif Rp. 300.000,- yang dipotong 20% dan diberikan kepada mami, responden tidak pernah menggunakan pelicin apapun pada saat berhubungan dengan pelanggan, responden juga mengaku tidak pernah mengkonsumsi minuman beralkohol maupun obat-obatan terlarang.
Responden mengaku rutin untuk menghadiri pembinaan kesehatan yang diadakan setiap seminggu sekali yaitu setiap hari senin. Responden juga selalu rutin melakukan screening test untuk kesehatannya pada saat mengikuti pembinaan di gedung serba guna sunan kuning, Berdasarkan keterangan dari responden, hasil screening testnya selalu baik dan responden mengaku bahwa tidak pernah mengalami gejala-gejala gangguan di sekitar alat kelaminnya seperti buang air kecil sakit, nyeri, panas, gatal disekitar dan didalam kemaluan maupun keputihan yang berbau busuk keluar dari alat kelaminnya. Responden mengaku hanya menggunakan obat bila terdapat keluhan sakit pada perut bagian bawah dan responden hanya mau meminum obat-obatan yang diberikan oleh dokter yang ada di klinik.
Walaupun sudah dinyatakan baik dan seha, terkadang responden masih memiliki kekhawatiran jika sewaktu-waktu dirinya tertular penyakit kelamin dari tamunya, sehingga responden benar-benar menjaga keamanan dalam berhubungan sex dan tidak melakukan hal-hal yang aneh saat berhubungan, responden merasa hanya pekerjan sebagai WPS ini yang bisa dilakukan karena responden tidak pernah bersekolah sehingga responden merasa tidak memiliki keterampilan lain yang dapat digunakan untuk bekerja. Responden berniat hanya bekerja selama 1 tahun sebagai WPS dan akan meninggalkan profesinya dan akan beralih profesi dengan membuat salon kecantikan didaerahnya yaitu di bandung dan kembali bersama anak dan ibunya.
III. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil wawancara yang kami peroleh dari kegiatan Outreach di gang 6 Kompleks Resosialisasi Sunan kuning pada tanggal 01 Juli 2010, maka kami dapat mengambil beberapa kesimpulan dari suatu masalah yang ada di lokalisasi Sunan Kuning, baik yang dialami mbak I maupun krisis masalah di lingkungan resosialsasi Sunan Kuning sebagai berikut:
1. Ny.A menjadi WPS terutama karena latar belakang ekonomi yang di alaminya.
2. Masih adanya tamu Ny.A yang menolak untuk menggunakan kondom, hal ini dapat disebabkan oleh :
a. Kurangnya pengetahuan tamu akan pentingnya kondom dalam mencegah penularan IMS dan HIV/ AIDS.
b. Alasan ketidaknyamanan dalam pemakaian kondom dalam berhubungan seksual.
IV. SARAN
1. Perlunya menyediakan pendidikan informal secara gratis, seperti kursus memasak, menjahit serta kursus salon kecantikan, yang diharapkan WPS mempunyai keterampilan untuk mencari pekerjaan lain yang lebih baik untuk memperbaiki kehidupan ekonominya.
2. Motivasi mengenai perlunya memiliki tabungan bagi WPS sebagai modal untuk usaha.
3. Memotivasi WPS untuk mempunyai target hidup yang lebih baik.
4. Perlunya pendekatan kepada klien tentang manfaat penggunaan kondom dalam berhubungan seksual dan bahaya Infeksi Menular Seksual (IMS) dan HIV/AIDS.
Tugas Kelompok Outreach
Tujuan pendampingan adalah perubahan perilaku yang tidak sehat menjadi sehat misalnya dari unsave sex menjadi save sex pada WPS yaitu penggunaan kondom pada setiap transaksi seks. Untuk mencapai tujuan perubahan perilaku petugas lapangan (PL) mempunyai tugas pokok melakukan komunikasi dengan kelompok dampingan (KD) baik individual maupun kelompok.
1. Buatlah suatu matriks perubahan perilaku individual sebagai penilaian resiko individual (PRI) dan perubahan resiko kelompok (PRK) sebagai data dasar untuk monitoring dan evaluasi
2. Indikator apa saja yang diperlukan untuk mengetahui bahwa telah terjadi perubahan perilaku pada kelompok dampingan. Buatlah tujuan, cara menghitung, kapan digunakan dan siapa yang membutuhkannya)
3. Kapankah wisma dan WPS tidak membutuhkan lagi pendampingan
Jawab :
1. Penilaian Resiko Individu (PRI) san Penilaian Risiko Kelompok (PRK)
a. Penilaian Risiko Individu
No. Kegiatan Ya Tidak Keterangan
1. Kebiasaan memakai kondom √ Setiap melakukan hubungan
2. Kebiasaan mencuci vagina √ Setiap setelah hubungan
3. Kebiasaan mengkonsumsi minuman beralkohol √ -
4. Kebiasaan menggunakan narkoba √ -
5. Rutin mengikuti penyuluhan √ Paling tidak 2 minggu sekali
6. Rutin melakukan skrining √ 3 minggu sampai 1 bulan sekali
7. Rutin melakukan VCT √ 3 bulan sekali
8. Kebiasaan melakukan anal seks √ -
9. Kebiasaan melakukan oral seks √ -
b. Penilaian Risiko Kelompok
No. Kegiatan Ya Tidak Konsensus
Mucikari 1. Menjamin ketersediaan kondom √ 1 minggu mau berubah dan siap didatangi
2. Melakukan monitoring terhadap penggunaan kondom oleh anak buah tiap transaksi √ 1 minggu mau berubah dan siap didatangi
3. Melakukan pemantauan skrining anak buah √ 2 minggu mau berubah dan siap didatangi
4. Melakukan pemantauan VCT anak buah √ 3 bulan mau berubah dan siap didatangi
5. Melakukan pembinaan terhadap anak buah dengan pemberian informasi tentang HIV/AIDS dan perilaku hidup sehat √ 1 bulan mau berubah dan siap didatangi
Operator Karaoke 1. Membantu WPS untuk memberikan pengertian kepada klien untuk menggunakan kondom √ 1 bulan mau berubah dan siap didatangi
2. Melakukan pemantauan terhadap pemandu karaoke dalam melayani tamu √ 1 bulan mau berubah dan siap didatangi
3. Memonitoring perilaku tamu terhadap pemandu karaoke agar tidak menyimpang √ -
4. Kebiasaan menggunakan narkoba √ -
5. Kebiasaan menggunakan alcohol √ 2 bulan mau berubah dan siap didatangi
Pemandu Karaoke 1. Hanya melayani tamu berkaraoke √ 1 bulan mau berubah dan siap didatangi
2. Kebiasaan menggunakan narkoba √ -
3. Kebiasaan meminum alcohol √ 1 bulan mau berubah dan siap didatangi
2. Indikator Terjadinya Perubahan Perilaku
Indikator untuk mengetahui terjadinya perubahan perilaku Tujuan Cara Menghitung Kapan digunakan Siapa yang membutuhkan
1. Penggunaan kondom 100% Untuk mencegah penularan dan penyebaran IMS dan HIV/AIDS Jumlah kondom dibagi jumlah transaksi (pertahun) Setiap kali melakukan transaksi seks Petugas kesehatan dan stakeholder
2. Menurunnya angka IMS Untuk mengetahui telah terjadinya perubahan perilaku dari unsave sex menjadi save sex Banyaknya penderita IMS dibagi jumlah WPS yang dating skrining (pertahun) Saat jadwal skrining Petugas kesehatan dan stakeholder
3. Kesadaran untuk dating Skrining danVCT Untuk mencegah penularan dan penyebaran IMS dan HIV/AIDS Skrining :
Jumlah WPS yang melakukan skrining dibagi jumlah seluruh WPS (pertahun)
VCT :
Jumlah WPS yang melakukan VCT dibagi jumlah seluruh WPS (pertahun) Skrining :
Setiap 2 minggu sekali
VCT :
Setiap 3 bulan sekali Petugas kesehatan dan stakeholder
3. Indikator Selesainya Pendampingan
a) WPS tidak membutuhkan pendampingan lagi apabila :
• Selalu menggunakan kondom setiap kali melakukan transaksi seks (penggunaan kondom 100%)
• Setiap kali Skrining tidak menderita IMS
• Setelah 3x VCT dinyatakan hasil negatif
b) Wisma tidak membutuhkan pendampingan lagi apabila :
• Seluruh WPS yang tinggal di wisma tersebut menggunakan kondom setiap kali transaksi seks (penggunaan kondom 100%)
• Seluruh WPS yang tinggal di wisma tersebut setiap kali Skrining tidak menderita IMS
• Seluruh WPS yang tinggal di wisma tersebut setelah 3x VCT dinyatakan hasilnya negatif
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
III.1 Kesimpulan
• Jumlah penderita HIV di kota Semarang dari ke tahun semakin meningkat.
• Outrech merupakan kegiatan kontak langsung, baik secara individual maupun kelompok kecil, dan tatap muka secara intensif untuk memberikan informasi materi pencegahan dan media Komunikasi, mempromosikan perilaku yang lebih aman, merujuk mereka ke layanan terkait yang dibutuhkan.
• Outreach telah menjadi aktivitas yang cukup berperan dalam program pencegahan IMS dan HIV bertujuan dalam rangka melakukan perubahan perilaku terhadap kelompok-kelompok risiko tinggi.
• Telah banyak kegiatan yang –AIDS, antara lain: Mapping rutin, pembentukan PE Anak Asuh dan PE mucikari (dilakukan bersama KPI), Pelatihan-pelatihan khususnya yang mendukung program, Advokasi pada pengurus Resos dan tokoh masyarakat (birokrat structural kemasyarakatan, missal ketua RT,RW, Kelurahan, dsb) terkait dengan suksesnya PPK 100%, Pembentukan wisma sebagai outlet kondom dan anak asuh sebagai stokist pribadi pemakaian kondom dan Penyusunan Regulasi Lokal 3 Resos di Kota Semarag dan Kab.Kendal.
III.2 Saran
• Membangun kerjasama yang lebih erat antar lembaga agar informasi tersalurkan secara efektif sehingga kasus IMS dan HIV dapat berkurag.
• Meningkatkan kesadaran dan pengetahuan individu dan kelompok berisiko dengan harapan dapat terjadinya perubahan perilaku.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ditjen PPM & PL Depkes RI. Statistik kasus HIV/AIDS di Indonesia. 2008.Tersedia dihttp://www.aids-ina.org/files/datakasus/des07.pdf diakses pada tanggal 05 Agustus 2010.
2. Purwanto, Edy. Situasi dan Kebijakan Penanggulangan HIV/AIDS di Jawa Tengah. Kertas Kerja, Seminar HIV dan AIDS di Blora, Jawa Tengah 2007
3. Sejarah Griya ASA Tersedia dihttp://pkbisemarang.org/id/griya-asa.html diakses pada tanggal 05 Agustus 2010.
4. S. GUNAWAN WIDIYANTO. Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Praktik Wanita Pekerja Seks Dalam VCT Ulang Di Lokalisasi Sunan Kuning Semarang tersedia dieprints.undip.ac.id/18484/1/S._GUNAWAN_WIDIYANTO.pdf diakses pada tanggal 05 Agustus 2010.
Post a Comment for "Outreach Sunan Kuning Juli 2010"