Seputar Pengertian Asesmen Diri Menurut Rolheiser dan Ross (2005), asesmen diri adalah suatu cara untuk melihat kedalam diri sendiri. Melalui asesmen diri siswa dapat melihat kelebihan maupun kekurangannya, untuk selanjutnya kekurangan ini menjadi tujuan perbaikan (improvement goal). Dengan demikian, siswa lebih bertanggungjawab terhadap proses dan pencapaian tujuan belajarnya. Salvia dan Ysseldike (1996) menekankan bahwa refleksi dan asesmen diri merupakan cara untuk menumbuhkan rasa kepemilikan (ownership), yaitu timbul suatu pemahaman bahwa apa yang dilakukan dan dihasilkan siswa tersebut memang merupakan hal yang berguna bagi diri dan kehidupannya.
Rolheiser dan Ross mengajukan suatu model teoretik untuk menunjukkan kontribusi asesmen diri terhadap pencapaian tujuan. Model tersebut menekankan bahwa, ketika mengases sendiri performansinya, siswa terdorong untuk menetapkan tujuan yang lebih tinggi (goals). Untuk itu, siswa harus melakukan usaha yang lebih keras (effort). Kombinasi dari goals dan effort ini menentukan prestasi (achievement); selanjutnya prestasi ini berakibat pada judgment terhadap diri (self-judgment) melalui kontemplasi seperti pertanyaan, ‘Apakah tujuanku telah tercapai’? Akibatnya timbul reaksi (self-reaction) seperti ‘Apa yang aku rasakan dari prestasi ini?’
Belakangan ini, asesmen diri sebagai salahsatu cara asesmen otentik banyak dibicarakan. Dunia global yang menciptakan persaingan, menuntut setiap orang untuk memiliki kompetensi yang tinggi agar dapat eksis dalam persaingan tersebut. Untuk itu, setiap orang harus terbiasa melakukan evaluasi terhadap dirinya – apa yang telah dicapai, apa yang belum; bila gagal mencapai sesuatu dimana letak penyebabnya, dan apa yang harus dilakukan untuk mencapai sukses.
Hal di atas juga sangat penting untuk dipupuk dalam proses belajar. Asesmen diri adalah suatu unsur metakognisi yang sangat berperan dalam proses belajar. Oleh karena itu, agar asesmen diri dapat berjalan dengan efektif, Rolheiser dan Ross menyarankan agar siswa dilatih untuk melakukannya.
Empat langkah dalam berlatih melakukan asesmen diri, yaitu:
Ada kendala-kendala potensial yang dapat dialami seorang guru yang baru memulai menggunakan kegiatan asesmen diri dalam pembelajarannya. Marhaeni (2007) menyebutkan tiga, yaitu kendala budaya, kendala psikologis, dan kendala pedagogis. Secara kultural, masyarakat pendidikan kita masih top-down oriented dan kurang bernuansa demokratis; sehingga dalam asesmen siswa merasa tidak berhak melakukan asesmen sebab yang berhak melakukan itu (dan secara tradisional terjadi) adalah guru, bukan siswa. Secara psikologis, siswa merasa tidak yakin dapat menilai kinerjanya sendiri sebab bagi mereka, orang yang melakukan suatu penilaian harus tahu apa yang benar sedangkan mereka sendiri masih dalam proses belajar. Kedua potensi kendala ini, jika terjadi, menimbulkan kendala lain, yaitu kendala pedagogik bagi guru. Guru harus menemukan cara-cara yang tepat untuk dapat melatih siswa melakukan asesmen diri, terutama meyakinkan mereka bahwa mereka mampu melakukannya.
Rolheiser dan Ross mengajukan suatu model teoretik untuk menunjukkan kontribusi asesmen diri terhadap pencapaian tujuan. Model tersebut menekankan bahwa, ketika mengases sendiri performansinya, siswa terdorong untuk menetapkan tujuan yang lebih tinggi (goals). Untuk itu, siswa harus melakukan usaha yang lebih keras (effort). Kombinasi dari goals dan effort ini menentukan prestasi (achievement); selanjutnya prestasi ini berakibat pada judgment terhadap diri (self-judgment) melalui kontemplasi seperti pertanyaan, ‘Apakah tujuanku telah tercapai’? Akibatnya timbul reaksi (self-reaction) seperti ‘Apa yang aku rasakan dari prestasi ini?’
Belakangan ini, asesmen diri sebagai salahsatu cara asesmen otentik banyak dibicarakan. Dunia global yang menciptakan persaingan, menuntut setiap orang untuk memiliki kompetensi yang tinggi agar dapat eksis dalam persaingan tersebut. Untuk itu, setiap orang harus terbiasa melakukan evaluasi terhadap dirinya – apa yang telah dicapai, apa yang belum; bila gagal mencapai sesuatu dimana letak penyebabnya, dan apa yang harus dilakukan untuk mencapai sukses.
Hal di atas juga sangat penting untuk dipupuk dalam proses belajar. Asesmen diri adalah suatu unsur metakognisi yang sangat berperan dalam proses belajar. Oleh karena itu, agar asesmen diri dapat berjalan dengan efektif, Rolheiser dan Ross menyarankan agar siswa dilatih untuk melakukannya.
Empat langkah dalam berlatih melakukan asesmen diri, yaitu:
- Libatkan semua komponen dalam menentukan kriteria penilaian,
- Pastikan semua siswa tahu bagaimana caranya menggunakan kriteria tersebut untuk menilai kinerjanya,
- Berikan umpan balik pada mereka berdasarkan hasil evaluasi dirinya, dan
- Arahkan mereka untuk mengembangkan sendiri tujuan dan rencana kerja berikutnya.
Ada kendala-kendala potensial yang dapat dialami seorang guru yang baru memulai menggunakan kegiatan asesmen diri dalam pembelajarannya. Marhaeni (2007) menyebutkan tiga, yaitu kendala budaya, kendala psikologis, dan kendala pedagogis. Secara kultural, masyarakat pendidikan kita masih top-down oriented dan kurang bernuansa demokratis; sehingga dalam asesmen siswa merasa tidak berhak melakukan asesmen sebab yang berhak melakukan itu (dan secara tradisional terjadi) adalah guru, bukan siswa. Secara psikologis, siswa merasa tidak yakin dapat menilai kinerjanya sendiri sebab bagi mereka, orang yang melakukan suatu penilaian harus tahu apa yang benar sedangkan mereka sendiri masih dalam proses belajar. Kedua potensi kendala ini, jika terjadi, menimbulkan kendala lain, yaitu kendala pedagogik bagi guru. Guru harus menemukan cara-cara yang tepat untuk dapat melatih siswa melakukan asesmen diri, terutama meyakinkan mereka bahwa mereka mampu melakukannya.
.
Post a Comment for "Seputar Pengertian Asesmen Diri"