PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 9 TAHUN 2014
TENTANG
KLINIK
NOMOR 9 TAHUN 2014
TENTANG
KLINIK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang :
a. bahwa untuk implementasi pengaturan penyelenggaraan klinik sesuai perkembangan dan perlindungan kepada masyarakat, perlu dilakukan perubahan terhadap Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 028/MENKES/PER/I/2011 tentang Klinik;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Menteri Kesehatan tentang Klinik;
a. bahwa untuk implementasi pengaturan penyelenggaraan klinik sesuai perkembangan dan perlindungan kepada masyarakat, perlu dilakukan perubahan terhadap Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 028/MENKES/PER/I/2011 tentang Klinik;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Menteri Kesehatan tentang Klinik;
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431);
2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437), sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
3. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengeloaan Sampah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 69);
4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059);
5. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3637);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3815);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5285);
9. Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional;
10. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 363/Menkes/Per/IV/1998 tentang Pengujian dan Kalibrasi Alat Kesehatan Pada Sarana Pelayanan Kesehatan;
11. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 269/Menkes/Per/III/2008 tentang Rekam Medis;
12. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/Menkes/Per/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran;
13. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 657/Menkes/Per/VIII/2009 tentang Pengiriman dan Penggunaan Spesimen Klinik, Materi Biologik dan Muatan Informasinya;
14. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 411/Menkes/Per/III/2010 tentang Laboratorium Klinik
15. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1144/MENKES/PER/VIII/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 585) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 35 Tahun 2013 (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 741);
16. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 001 Tahun 2012 tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 122);
17. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 36 Tahun 2012 tentang Rahasia Kedokteran (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 915);
18. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 46 Tahun 2013 tentang Registrasi Tenaga Kesehatan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 977);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KESEHATAN TENTANG KLINIK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Klinik adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan yang menyediakan pelayanan medis dasar dan/atau spesialistik.
2. Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.
3. Instalasi Farmasi adalah bagian dari Klinik yang bertugas menyelenggarakan, mengoordinasikan, mengatur, dan mengawasi seluruh kegiatan pelayanan farmasi serta melaksanakan teknis kefarmasian di Klinik.
4. Pemerintah Pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
5. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
6. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.
1. Klinik adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan yang menyediakan pelayanan medis dasar dan/atau spesialistik.
2. Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.
3. Instalasi Farmasi adalah bagian dari Klinik yang bertugas menyelenggarakan, mengoordinasikan, mengatur, dan mengawasi seluruh kegiatan pelayanan farmasi serta melaksanakan teknis kefarmasian di Klinik.
4. Pemerintah Pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
5. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
6. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.
BAB II
JENIS KLINIK
Pasal 2
(1) Berdasarkan jenis pelayanan, Klinik dibagi menjadi:
a. Klinik pratama; dan
b. Klinik utama.
(2) Klinik pratama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan Klinik yang menyelenggarakan pelayanan medik dasar baik umum maupun khusus.
(3) Klinik utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan Klinik yang menyelenggarakan pelayanan medik spesialistik atau pelayanan medik dasar dan spesialistik.
(4) Klinik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengkhususkan pelayanan pada satu bidang tertentu berdasarkan cabang/disiplin ilmu atau sistem organ.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai Klinik dengan kekhususan pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur oleh Menteri.
a. Klinik pratama; dan
b. Klinik utama.
(2) Klinik pratama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan Klinik yang menyelenggarakan pelayanan medik dasar baik umum maupun khusus.
(3) Klinik utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan Klinik yang menyelenggarakan pelayanan medik spesialistik atau pelayanan medik dasar dan spesialistik.
(4) Klinik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengkhususkan pelayanan pada satu bidang tertentu berdasarkan cabang/disiplin ilmu atau sistem organ.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai Klinik dengan kekhususan pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur oleh Menteri.
Pasal 3
Klinik dapat dimiliki oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, atau masyarakat.
Pasal 4
(1) Klinik yang dimiliki oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah harus didirikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Klinik yang dimiliki oleh masyarakat yang menyelenggarakan rawat jalan dapat didirikan oleh perorangan atau badan usaha.
(3) Klinik yang dimiliki oleh masyarakat yang menyelenggarakan rawat inap harus didirikan oleh badan hukum.
(2) Klinik yang dimiliki oleh masyarakat yang menyelenggarakan rawat jalan dapat didirikan oleh perorangan atau badan usaha.
(3) Klinik yang dimiliki oleh masyarakat yang menyelenggarakan rawat inap harus didirikan oleh badan hukum.
BAB III
PERSYARATAN
Bagian Kesatu
Lokasi
Pasal 5
(1) Pemerintah daerah kabupaten/kota mengatur persebaran Klinik yang diselenggarakan masyarakat di wilayahnya dengan memperhatikan kebutuhan pelayanan berdasarkan rasio jumlah penduduk.
(2) Lokasi Klinik harus memenuhi ketentuan mengenai persyaratan kesehatan lingkungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(3) Ketentuan mengenai persebaran Klinik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku untuk Klinik perusahaan atau Klinik instansi pemerintah tertentu yang hanya melayani karyawan perusahaan, warga binaan, atau pegawai instansi tersebut.
(2) Lokasi Klinik harus memenuhi ketentuan mengenai persyaratan kesehatan lingkungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(3) Ketentuan mengenai persebaran Klinik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku untuk Klinik perusahaan atau Klinik instansi pemerintah tertentu yang hanya melayani karyawan perusahaan, warga binaan, atau pegawai instansi tersebut.
Bagian Kedua
Bangunan
Pasal 6
(1) Bangunan Klinik harus bersifat permanen dan tidak bergabung fisik bangunannya dengan tempat tinggal perorangan.
(2) Ketentuan tempat tinggal perorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk apartemen, rumah toko, rumah kantor, rumah susun, dan bangunan yang sejenis.
(3) Bangunan Klinik harus memperhatikan fungsi, keamanan, kenyamanan dan kemudahan dalam pemberian pelayanan serta perlindungan keselamatan dan kesehatan bagi semua orang termasuk penyandang cacat, anak-anak dan orang usia lanjut.
(2) Ketentuan tempat tinggal perorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk apartemen, rumah toko, rumah kantor, rumah susun, dan bangunan yang sejenis.
(3) Bangunan Klinik harus memperhatikan fungsi, keamanan, kenyamanan dan kemudahan dalam pemberian pelayanan serta perlindungan keselamatan dan kesehatan bagi semua orang termasuk penyandang cacat, anak-anak dan orang usia lanjut.
Pasal 7
(1) Bangunan Klinik paling sedikit terdiri atas:
a. ruang pendaftaran/ruang tunggu;
b. ruang konsultasi;
c. ruang administrasi;
d. ruang obat dan bahan habis pakai untuk klinik yang melaksanakan pelayanan farmasi;
e. ruang tindakan;
f. ruang/pojok ASI;
g. kamar mandi/wc; dan
h. ruangan lainnya sesuai kebutuhan pelayanan.
(2) Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Klinik rawat
inap harus memiliki:
a. ruang rawat inap yang memenuhi persyaratan;
b. ruang farmasi;
c. ruang laboratorium; dan
d. ruang dapur;
(3) Ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus
memenuhi persyaratan teknis sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(4) Jumlah tempat tidur pasien pada Klinik rawat inap paling sedikit 5
(lima) buah dan paling banyak 10 (sepuluh) buah.
a. ruang pendaftaran/ruang tunggu;
b. ruang konsultasi;
c. ruang administrasi;
d. ruang obat dan bahan habis pakai untuk klinik yang melaksanakan pelayanan farmasi;
e. ruang tindakan;
f. ruang/pojok ASI;
g. kamar mandi/wc; dan
h. ruangan lainnya sesuai kebutuhan pelayanan.
(2) Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Klinik rawat
inap harus memiliki:
a. ruang rawat inap yang memenuhi persyaratan;
b. ruang farmasi;
c. ruang laboratorium; dan
d. ruang dapur;
(3) Ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus
memenuhi persyaratan teknis sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(4) Jumlah tempat tidur pasien pada Klinik rawat inap paling sedikit 5
(lima) buah dan paling banyak 10 (sepuluh) buah.
Bagian Ketiga
Prasarana
Pasal 8
Prasarana
Pasal 8
(1) Prasarana Klinik meliputi:
a. instalasi sanitasi;
b. instalasi listrik;
c. pencegahan dan penanggulangan kebakaran;
d. ambulans, khusus untuk Klinik yang menyelenggarakan rawat inap; dan
e. sistem gas medis;
f. sistem tata udara;
g. sistem pencahayaan;
h. prasarana lainnya sesuai kebutuhan.
(2) Sarana dan Prasarana Klinik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dalam keadaan terpelihara dan berfungsi dengan baik.
a. instalasi sanitasi;
b. instalasi listrik;
c. pencegahan dan penanggulangan kebakaran;
d. ambulans, khusus untuk Klinik yang menyelenggarakan rawat inap; dan
e. sistem gas medis;
f. sistem tata udara;
g. sistem pencahayaan;
h. prasarana lainnya sesuai kebutuhan.
(2) Sarana dan Prasarana Klinik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dalam keadaan terpelihara dan berfungsi dengan baik.
Bagian Keempat
Ketenagaan
Pasal 9
(1) Penanggung jawab teknis Klinik harus seorang tenaga medis.
(2) Penanggung jawab teknis Klinik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memiliki Surat Izin Praktik (SIP) di Klinik tersebut, dan dapat merangkap sebagai pemberi pelayanan.
(2) Penanggung jawab teknis Klinik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memiliki Surat Izin Praktik (SIP) di Klinik tersebut, dan dapat merangkap sebagai pemberi pelayanan.
Pasal 10
Tenaga Medis hanya dapat menjadi penanggung jawab teknis pada 1 (satu) Klinik.
Pasal 11
(1) Ketenagaan Klinik rawat jalan terdiri atas tenaga medis, tenaga keperawatan, Tenaga Kesehatan lain, dan tenaga non kesehatan sesuai dengan kebutuhan.
(2) Ketenagaan Klinik rawat inap terdiri atas tenaga medis, tenaga kefarmasian, tenaga keperawatan, tenaga gizi, tenaga analis kesehatan, Tenaga Kesehatan lain dan tenaga non kesehatan sesuai dengan kebutuhan.
(3) Jenis, kualifikasi, dan jumlah Tenaga Kesehatan lain serta tenaga non kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disesuaikan dengan kebutuhan dan jenis pelayanan yang diberikan oleh Klinik.
(2) Ketenagaan Klinik rawat inap terdiri atas tenaga medis, tenaga kefarmasian, tenaga keperawatan, tenaga gizi, tenaga analis kesehatan, Tenaga Kesehatan lain dan tenaga non kesehatan sesuai dengan kebutuhan.
(3) Jenis, kualifikasi, dan jumlah Tenaga Kesehatan lain serta tenaga non kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disesuaikan dengan kebutuhan dan jenis pelayanan yang diberikan oleh Klinik.
Pasal 12
(1) Tenaga medis pada Klinik pratama yang memberikan pelayanan kedokteran paling sedikit terdiri dari 2 (dua) orang dokter dan/atau dokter gigi sebagai pemberi pelayanan.
(2) Tenaga medis pada Klinik utama yang memberikan pelayanan kedokteran paling sedikit terdiri dari 1 (satu) orang dokter spesialis dan 1 (satu) orang dokter sebagai pemberi pelayanan.
(3) Tenaga medis pada Klinik utama yang memberikan pelayanan kedokteran gigi paling sedikit terdiri dari 1 (satu) orang dokter gigi spesialis dan 1 (satu) orang dokter gigi sebagai pemberi pelayanan.
(2) Tenaga medis pada Klinik utama yang memberikan pelayanan kedokteran paling sedikit terdiri dari 1 (satu) orang dokter spesialis dan 1 (satu) orang dokter sebagai pemberi pelayanan.
(3) Tenaga medis pada Klinik utama yang memberikan pelayanan kedokteran gigi paling sedikit terdiri dari 1 (satu) orang dokter gigi spesialis dan 1 (satu) orang dokter gigi sebagai pemberi pelayanan.
Pasal 13
(1) Setiap tenaga medis yang berpraktik di Klinik harus mempunyai Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Izin Praktik (SIP) sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Setiap tenaga kesehatan lain yang bekerja di Klinik harus mempunyai Surat Tanda Registrasi (STR), dan Surat Izin Kerja (SIK) atau Surat Izin Praktik (SIP) sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Setiap tenaga kesehatan lain yang bekerja di Klinik harus mempunyai Surat Tanda Registrasi (STR), dan Surat Izin Kerja (SIK) atau Surat Izin Praktik (SIP) sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 14
Setiap tenaga kesehatan yang bekerja di Klinik harus bekerja sesuai dengan standar profesi, standar prosedur operasional, standar pelayanan, etika profesi, menghormati hak pasien, serta mengutamakan kepentingan dan keselamatan pasien.
Pasal 15
Pendayagunaan tenaga kesehatan warga negara asing di Klinik dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 16
Klinik yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan 24 (dua puluh empat) jam harus menyediakan dokter serta tenaga kesehatan lain sesuai kebutuhan pelayanan dan setiap saat berada di tempat.
Bagian Kelima
Peralatan
Pasal 17
(1) Klinik harus dilengkapi dengan peralatan medis dan nonmedis yang memadai sesuai dengan jenis pelayanan yang diberikan.
(2) Peralatan medis dan nonmedis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi standar mutu, keamanan, dan keselamatan.
(3) Selain memenuhi standar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) peralatan medis harus memiliki izin edar sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Peralatan medis dan nonmedis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi standar mutu, keamanan, dan keselamatan.
(3) Selain memenuhi standar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) peralatan medis harus memiliki izin edar sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 18
(1) Peralatan medis yang digunakan di Klinik harus diuji dan dikalibrasi secara berkala oleh institusi pengujian fasilitas kesehatan yang berwenang.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 19
Peralatan medis yang menggunakan sinar pengion harus mendapatkan izin sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 20
Penggunaan peralatan medis di Klinik harus dilakukan berdasarkan indikasi medis.
Bagian Keenam
Kefarmasian
Pasal 21
(1) Klinik rawat jalan tidak wajib melaksanakan pelayanan farmasi.
(2) Klinik rawat jalan yang menyelenggarakan pelayanan kefarmasian wajib memiliki apoteker yang memiliki Surat Izin Praktik Apoteker (SIPA) sebagai penanggung jawab atau pendamping.
(2) Klinik rawat jalan yang menyelenggarakan pelayanan kefarmasian wajib memiliki apoteker yang memiliki Surat Izin Praktik Apoteker (SIPA) sebagai penanggung jawab atau pendamping.
Pasal 22
(1) Klinik rawat inap wajib memiliki instalasi farmasi yang diselenggarakan apoteker.
(2) Instalasi farmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melayani resep dari dokter Klinik yang bersangkutan, serta dapat melayani resep dari dokter praktik perorangan maupun Klinik lain.
(2) Instalasi farmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melayani resep dari dokter Klinik yang bersangkutan, serta dapat melayani resep dari dokter praktik perorangan maupun Klinik lain.
Pasal 23
Klinik yang menyelenggarakan pelayanan rehabilitasi medis pecandu narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya wajib memiliki instalasi farmasi yang diselenggarakan oleh apoteker.
Bagian Ketujuh
Laboratorium
Pasal 24
Laboratorium
Pasal 24
(1) Klinik rawat inap wajib menyelenggarakan pengelolaan dan pelayanan laboratorium klinik.
(2) Klinik rawat jalan dapat menyelenggarakan pengelolaan dan pelayanan laboratorium klinik.
(3) Laboratorium Klinik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) pada klinik pratama merupakan pelayanan laboratorium klinik umum pratama sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Klinik utama dapat menyelenggarakan pelayanan laboratorium klinik umum pratama atau laboratorium klinik umum madya.
(5) Perizinan laboratorium klinik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan (4) terintegrasi dengan perizinan Klinik.
(6) Dalam hal Klinik menyelenggarakan laboratorium klinik yang memiliki sarana, prasarana, ketenagaan dan kemampuan pelayanan melebihi kriteria dan persyaratan Klinik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), maka laboratorium klinik tersebut harus memiliki izin tersendiri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Klinik rawat jalan dapat menyelenggarakan pengelolaan dan pelayanan laboratorium klinik.
(3) Laboratorium Klinik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) pada klinik pratama merupakan pelayanan laboratorium klinik umum pratama sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Klinik utama dapat menyelenggarakan pelayanan laboratorium klinik umum pratama atau laboratorium klinik umum madya.
(5) Perizinan laboratorium klinik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan (4) terintegrasi dengan perizinan Klinik.
(6) Dalam hal Klinik menyelenggarakan laboratorium klinik yang memiliki sarana, prasarana, ketenagaan dan kemampuan pelayanan melebihi kriteria dan persyaratan Klinik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), maka laboratorium klinik tersebut harus memiliki izin tersendiri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB IV
PERIZINAN
Pasal 25
(1) Setiap penyelenggaraan Klinik wajib memiliki izin mendirikan dan izin operasional.
(2) Izin mendirikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota.
(3) Izin operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota atau kepala dinas kesehatan kabupaten/kota.
(2) Izin mendirikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota.
(3) Izin operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota atau kepala dinas kesehatan kabupaten/kota.
Pasal 26
(1) Untuk mendapatkan izin mendirikan, penyelenggara Klinik harus melengkapi persyaratan:
a. identitas lengkap pemohon;
b. salinan/fotokopi pendirian badan hukum atau badan usaha, kecuali untuk kepemilikan perorangan;
c. salinan/fotokopi yang sah sertifikat tanah, bukti kepemilikan lain yang disahkan oleh notaris, atau bukti surat kontrak minimal untuk jangka waktu 5 (lima) tahun;
d. dokumen SPPL untuk Klinik rawat jalan, atau dokumen UKL-UPL untuk Klinik rawat inap sesuai ketentuan peraturan perundangundangan; dan
e. profil Klinik yang akan didirikan meliputi pengorganisasian, lokasi, bangunan, prasarana, ketenagaan, peralatan, kefarmasian, laboratorium, serta pelayanan yang diberikan;
f. persyaratan lainnya sesuai dengan peraturan daerah setempat.
(2) Izin mendirikan diberikan untuk jangka waktu 6 (enam) bulan, dan dapat diperpanjang paling lama 6 (enam) bulan apabila belum dapat memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Apabila batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) habis dan pemohon tidak dapat memenuhi persyaratan, maka pemohon harus mengajukan permohonan izin mendirikan yang baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
a. identitas lengkap pemohon;
b. salinan/fotokopi pendirian badan hukum atau badan usaha, kecuali untuk kepemilikan perorangan;
c. salinan/fotokopi yang sah sertifikat tanah, bukti kepemilikan lain yang disahkan oleh notaris, atau bukti surat kontrak minimal untuk jangka waktu 5 (lima) tahun;
d. dokumen SPPL untuk Klinik rawat jalan, atau dokumen UKL-UPL untuk Klinik rawat inap sesuai ketentuan peraturan perundangundangan; dan
e. profil Klinik yang akan didirikan meliputi pengorganisasian, lokasi, bangunan, prasarana, ketenagaan, peralatan, kefarmasian, laboratorium, serta pelayanan yang diberikan;
f. persyaratan lainnya sesuai dengan peraturan daerah setempat.
(2) Izin mendirikan diberikan untuk jangka waktu 6 (enam) bulan, dan dapat diperpanjang paling lama 6 (enam) bulan apabila belum dapat memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Apabila batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) habis dan pemohon tidak dapat memenuhi persyaratan, maka pemohon harus mengajukan permohonan izin mendirikan yang baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 27
(1) Untuk mendapatkan izin operasional, penyelenggara Klinik harus memenuhi persyaratan teknis dan administrasi.
(2) Persyaratan teknis meliputi persyaratan lokasi, bangunan, prasarana, ketenagaan, peralatan, kefarmasian, dan laboratorium sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 24.
(3) Persyaratan administrasi meliputi izin mendirikan dan rekomendasi dari dinas kesehatan kabupaten/kota.
(4) Izin operasional diberikan untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang kembali selama memenuhi persyaratan.
(2) Persyaratan teknis meliputi persyaratan lokasi, bangunan, prasarana, ketenagaan, peralatan, kefarmasian, dan laboratorium sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 24.
(3) Persyaratan administrasi meliputi izin mendirikan dan rekomendasi dari dinas kesehatan kabupaten/kota.
(4) Izin operasional diberikan untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang kembali selama memenuhi persyaratan.
Pasal 28
(1) Pemerintah daerah kabupaten/kota atau kepala dinas kesehatan kabupaten/kota harus mengeluarkan keputusan atas permohonan izin operasional, paling lama 1 (satu) bulan sejak diterima permohonan izin.
(2) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa penerbitan izin, penolakan izin atau pemberitahuan untuk kelengkapan berkas.
(2) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa penerbitan izin, penolakan izin atau pemberitahuan untuk kelengkapan berkas.
Pasal 29
(1) Apabila dalam permohonan izin operasional, pemohon dinyatakan masih harus melengkapi persyaratan sesuai ketentuan Pasal 29 ayat (3), maka Pemerintah daerah kabupaten/kota atau kepala dinas kesehatan kabupaten/kota harus segera memberitahukan kepada pemohon dalam jangka waktu 1 (satu) bulan
(2) Pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari sejak pemberitahuan disampaikan, harus segera melengkapi persyaratan yang belum dipenuhi.
(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pemohon tidak dapat memenuhi persyaratan, pemerintah daerah kabupaten/kota atau kepala dinas kesehatan kabupaten/kota mengeluarkan surat penolakan atas permohonan izin operasional dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari.
(2) Pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari sejak pemberitahuan disampaikan, harus segera melengkapi persyaratan yang belum dipenuhi.
(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pemohon tidak dapat memenuhi persyaratan, pemerintah daerah kabupaten/kota atau kepala dinas kesehatan kabupaten/kota mengeluarkan surat penolakan atas permohonan izin operasional dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari.
Pasal 30
(1) Perpanjangan izin operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (4) harus diajukan pemohon paling lama 3 (tiga) bulan sebelum habis masa berlaku izin operasional.
(2) Dalam waktu 1 (satu) bulan sejak permohonan perpanjangan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima, pemerintah daerah kabupaten/kota atau kepala dinas kesehatan kabupaten/kota harus memberi keputusan berupa penerbitan izin atau penolakan izin.
(3) Dalam hal permohonan perpanjangan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditolak, pemerintah daerah kabupaten/kota atau kepala dinas kesehatan kabupaten/kota wajib memberikan alasan penolakan secara tertulis.
(2) Dalam waktu 1 (satu) bulan sejak permohonan perpanjangan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima, pemerintah daerah kabupaten/kota atau kepala dinas kesehatan kabupaten/kota harus memberi keputusan berupa penerbitan izin atau penolakan izin.
(3) Dalam hal permohonan perpanjangan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditolak, pemerintah daerah kabupaten/kota atau kepala dinas kesehatan kabupaten/kota wajib memberikan alasan penolakan secara tertulis.
Pasal 31
(1) Perubahan izin operasional Klinik harus dilakukan apabila terjadi:
a. perubahan nama;
b. perubahan jenis badan usaha; dan/atau
c. perubahan alamat dan tempat.
(2) Perubahan izin operasional Klinik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan b dilakukan dengan mengajukan permohonan izin operasional serta harus melampirkan:
a. surat pernyataan penggantian nama dan/atau jenis badan usaha Klinik yang ditandatangani oleh pemilik;
b. perubahan Akta Notaris; dan
c. izin operasional Klinik yang asli, sebelum perubahan.
(3) Perubahan izin operasional Klinik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan dengan mengajukan permohonan izin mendirikan, izin operasional, serta harus melampirkan:
a. surat pernyataan penggantian alamat dan tempat Klinik yang ditandatangani oleh pemilik; dan
b. izin operasional Klinik yang asli, sebelum perubahan (4) Perubahan kepemilikan dan/atau penanggung jawab teknis Klinik harus dilaporkan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota atau kepala dinas kesehatan kabupaten/kota.
a. perubahan nama;
b. perubahan jenis badan usaha; dan/atau
c. perubahan alamat dan tempat.
(2) Perubahan izin operasional Klinik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan b dilakukan dengan mengajukan permohonan izin operasional serta harus melampirkan:
a. surat pernyataan penggantian nama dan/atau jenis badan usaha Klinik yang ditandatangani oleh pemilik;
b. perubahan Akta Notaris; dan
c. izin operasional Klinik yang asli, sebelum perubahan.
(3) Perubahan izin operasional Klinik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan dengan mengajukan permohonan izin mendirikan, izin operasional, serta harus melampirkan:
a. surat pernyataan penggantian alamat dan tempat Klinik yang ditandatangani oleh pemilik; dan
b. izin operasional Klinik yang asli, sebelum perubahan (4) Perubahan kepemilikan dan/atau penanggung jawab teknis Klinik harus dilaporkan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota atau kepala dinas kesehatan kabupaten/kota.
BAB V
PENYELENGGARAAN
Pasal 32
(1) Klinik menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan yang bersifat promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.
(2) Pelayanan kesehatan yang bersifat promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam bentuk rawat jalan, rawat inap, pelayanan satu hari (one day care) dan/atau home care.
(3) Pelayanan satu hari (one day care) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan pelayanan yang dilakukan untuk pasien yang sudah ditegakkan diagnosa secara definitif dan perlu mendapat tindakan atau perawatan semi intensif (observasi) setelah 6 (enam) jam sampai dengan 24 (dua puluh empat) jam.
(4) Home care sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan bagian atau lanjutan dari pelayanan kesehatan yang berkesinambungan dan komprehensif yang diberikan kepada individu dan keluarga di tempat tinggal mereka yang bertujuan untuk meningkatkan, mempertahankan atau memulihkan kesehatan atau memaksimalkan tingkat kemandirian dan meminimalkan dampak penyakit.
(2) Pelayanan kesehatan yang bersifat promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam bentuk rawat jalan, rawat inap, pelayanan satu hari (one day care) dan/atau home care.
(3) Pelayanan satu hari (one day care) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan pelayanan yang dilakukan untuk pasien yang sudah ditegakkan diagnosa secara definitif dan perlu mendapat tindakan atau perawatan semi intensif (observasi) setelah 6 (enam) jam sampai dengan 24 (dua puluh empat) jam.
(4) Home care sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan bagian atau lanjutan dari pelayanan kesehatan yang berkesinambungan dan komprehensif yang diberikan kepada individu dan keluarga di tempat tinggal mereka yang bertujuan untuk meningkatkan, mempertahankan atau memulihkan kesehatan atau memaksimalkan tingkat kemandirian dan meminimalkan dampak penyakit.
Pasal 33
(1) Klinik rawat inap hanya dapat memberikan pelayanan rawat inap paling lama 5 (lima) hari.
(2) Apabila memerlukan rawat inap lebih dari 5 (lima) hari, maka pasien harus secara terencana dirujuk ke rumah sakit sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Apabila memerlukan rawat inap lebih dari 5 (lima) hari, maka pasien harus secara terencana dirujuk ke rumah sakit sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 34
(1) Klinik pratama hanya dapat melakukan bedah kecil (minor) tanpa anestesi umum dan/atau spinal.
(2) Klinik utama dapat melakukan tindakan bedah, kecuali tindakan bedah yang:
a. menggunakan anestesi umum dengan inhalasi dan/atau spinal;
b. operasi sedang yang berisiko tinggi; dan
c. operasi besar.
(3) Klasifikasi bedah kecil, sedang, dan besar ditetapkan oleh Organisasi Profesi yang bersangkutan.
(2) Klinik utama dapat melakukan tindakan bedah, kecuali tindakan bedah yang:
a. menggunakan anestesi umum dengan inhalasi dan/atau spinal;
b. operasi sedang yang berisiko tinggi; dan
c. operasi besar.
(3) Klasifikasi bedah kecil, sedang, dan besar ditetapkan oleh Organisasi Profesi yang bersangkutan.
Pasal 35
Setiap Klinik mempunyai kewajiban:
a. memberikan informasi yang benar tentang pelayanan yang diberikan;
b. memberikan pelayanan yang efektif, aman, bermutu, dan nondiskriminasi dengan mengutamakan kepentingan terbaik pasien sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan dan standar prosedur operasional;
c. memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai dengan kemampuan pelayanannya tanpa meminta uang muka terlebih dahulu atau mendahulukan kepentingan finansial;
d. memperoleh persetujuan atas tindakan yang akan dilakukan (informed consent);
e. menyelenggarakan rekam medis;
f. melaksanakan sistem rujukan dengan tepat;
g. menolak keinginan pasien yang bertentangan dengan standar profesi dan etika serta peraturan perundang-undangan;
h. menghormati dan melindungi hak-hak pasien;
i. memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai hak dan kewajiban pasien;
j. melaksanakan kendali mutu dan kendali biaya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
k. memiliki standar prosedur operasional;
l. melakukan pengelolaan limbah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
m. melaksanakan fungsi sosial;
n. melaksanakan program pemerintah di bidang kesehatan;
o. menyusun dan melaksanakan peraturan internal klinik; dan
p. memberlakukan seluruh lingkungan klinik sebagai kawasan tanpa rokok.
a. memberikan informasi yang benar tentang pelayanan yang diberikan;
b. memberikan pelayanan yang efektif, aman, bermutu, dan nondiskriminasi dengan mengutamakan kepentingan terbaik pasien sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan dan standar prosedur operasional;
c. memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai dengan kemampuan pelayanannya tanpa meminta uang muka terlebih dahulu atau mendahulukan kepentingan finansial;
d. memperoleh persetujuan atas tindakan yang akan dilakukan (informed consent);
e. menyelenggarakan rekam medis;
f. melaksanakan sistem rujukan dengan tepat;
g. menolak keinginan pasien yang bertentangan dengan standar profesi dan etika serta peraturan perundang-undangan;
h. menghormati dan melindungi hak-hak pasien;
i. memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai hak dan kewajiban pasien;
j. melaksanakan kendali mutu dan kendali biaya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
k. memiliki standar prosedur operasional;
l. melakukan pengelolaan limbah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
m. melaksanakan fungsi sosial;
n. melaksanakan program pemerintah di bidang kesehatan;
o. menyusun dan melaksanakan peraturan internal klinik; dan
p. memberlakukan seluruh lingkungan klinik sebagai kawasan tanpa rokok.
Pasal 36
Setiap Kinik mempunyai hak:
a. menerima imbalan jasa pelayanan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. melakukan kerja sama dengan pihak lain dalam mengembangkan pelayanan;
c. menggugat pihak yang mengakibatkan kerugian;
d. mendapatkan perlindungan hukum dalam melaksanakan pelayanan kesehatan; dan
e. mempromosikan pelayanan kesehatan yang ada di Klinik sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
a. menerima imbalan jasa pelayanan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. melakukan kerja sama dengan pihak lain dalam mengembangkan pelayanan;
c. menggugat pihak yang mengakibatkan kerugian;
d. mendapatkan perlindungan hukum dalam melaksanakan pelayanan kesehatan; dan
e. mempromosikan pelayanan kesehatan yang ada di Klinik sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 37
Penyelenggara Klinik wajib:
a. memasang nama dan klasifikasi Klinik;
b. membuat dan melaporkannya kepada dinas kesehatan daftar tenaga medis dan tenaga kesehatan lain yang bekerja di Klinik dengan menyertakan:
1) nomor Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Izin Praktik (SIP) bagi tenaga medis;
2) nomor surat izin sebagai tanda registrasi atau Surat Tanda Registrasi (STR), dan Surat Izin Praktik (SIP) atau Surat Izin Kerja (SIK) bagi tenaga kesehatan lain.
c. melaksanakan pencatatan untuk penyakit-penyakit tertentu dan melaporkan kepada dinas kesehatan kabupaten/kota dalam rangka pelaksanaan program pemerintah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
a. memasang nama dan klasifikasi Klinik;
b. membuat dan melaporkannya kepada dinas kesehatan daftar tenaga medis dan tenaga kesehatan lain yang bekerja di Klinik dengan menyertakan:
1) nomor Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Izin Praktik (SIP) bagi tenaga medis;
2) nomor surat izin sebagai tanda registrasi atau Surat Tanda Registrasi (STR), dan Surat Izin Praktik (SIP) atau Surat Izin Kerja (SIK) bagi tenaga kesehatan lain.
c. melaksanakan pencatatan untuk penyakit-penyakit tertentu dan melaporkan kepada dinas kesehatan kabupaten/kota dalam rangka pelaksanaan program pemerintah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 38
(1) Dalam upaya peningkatan mutu pelayanan Klinik, dilakukan akreditasi secara berkala paling sedikit 3 (tiga) tahun sekali.
(2) Setiap Klinik yang telah memperoleh izin operasional dan telah beroperasi paling sedikit 2 (dua) tahun wajib mengajukan permohonan akreditasi.
(3) Akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh lembaga independen pelaksana akreditasi yang membidangi fasilitas pelayanan kesehatan.
(2) Setiap Klinik yang telah memperoleh izin operasional dan telah beroperasi paling sedikit 2 (dua) tahun wajib mengajukan permohonan akreditasi.
(3) Akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh lembaga independen pelaksana akreditasi yang membidangi fasilitas pelayanan kesehatan.
Pasal 39
(1) Dalam penyelenggaraan Klinik harus dilakukan audit medis.
(2) Audit medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara internal dan eksternal.
(3) Audit medis internal dilakukan oleh Klinik paling sedikit satu kali dalam setahun.
(4) Audit medis eksternal dapat dilakukan oleh organisasi profesi.
(2) Audit medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara internal dan eksternal.
(3) Audit medis internal dilakukan oleh Klinik paling sedikit satu kali dalam setahun.
(4) Audit medis eksternal dapat dilakukan oleh organisasi profesi.
BAB VI
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 40
(1) Menteri, gubernur, kepala dinas kesehatan provinsi, bupati/walikota, dan kepala dinas kesehatan kabupaten/kota melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan Klinik.
(2) Dalam melakukan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat mengikutsertakan organisasi profesi dan perhimpunan/asosiasi Klinik.
(3) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diarahkan untuk meningkatkan mutu pelayanan, keselamatan pasien dan melindungi masyarakat terhadap segala risiko yang dapat
menimbulkan bahaya bagi kesehatan atau merugikan masyarakat.
(4) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berupa pemberian bimbingan, supervisi, konsultasi, penyuluhan kesehatan, pendidikan dan pelatihan.
(2) Dalam melakukan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat mengikutsertakan organisasi profesi dan perhimpunan/asosiasi Klinik.
(3) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diarahkan untuk meningkatkan mutu pelayanan, keselamatan pasien dan melindungi masyarakat terhadap segala risiko yang dapat
menimbulkan bahaya bagi kesehatan atau merugikan masyarakat.
(4) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berupa pemberian bimbingan, supervisi, konsultasi, penyuluhan kesehatan, pendidikan dan pelatihan.
Pasal 41
(1) Dalam rangka pembinaan dan pengawasan, Menteri, gubernur, kepala dinas kesehatan provinsi, bupati/walikota, dan kepala dinas kesehatan kabupaten/kota sesuai dengan kewenangan masing-masing dapat mengambil tindakan administratif.
(2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis;
c. pencabutan izin tenaga kesehatan; dan/atau
d. pencabutan izin/rekomendasi Klinik.
(2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis;
c. pencabutan izin tenaga kesehatan; dan/atau
d. pencabutan izin/rekomendasi Klinik.
Pasal 42
(1) Gubernur dan bupati/walikota dalam melaksanakan tugasnya dapat mengangkat tenaga pengawas dengan tugas pokok untuk melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan Klinik.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuaidengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuaidengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 43
(1) Klinik yang diselenggarakan berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 666/Menkes/SK/VI/2007 tentang Klinik Rawat Inap Pelayanan Medik Dasar, tetap dapat menyelenggarakan pelayanan sampai habis masa berlakunya izin.
(2) Perpanjangan izin klinik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaksanakan berdasarkan ketentuan Peraturan Menteri ini.
(2) Perpanjangan izin klinik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaksanakan berdasarkan ketentuan Peraturan Menteri ini.
Pasal 44
(1) Pada saat Peraturan ini mulai berlaku, Klinik yang telah terselenggara berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 028/MENKES/PER/I/2011 Tentang Klinik, tetap dapat menyelenggarakan pelayanan sampai habis masa berlakunya izin.
(2) Pada saat Peraturan ini mulai berlaku, Klinik yang sedang dalam proses pengajuan izin baru atau perpanjangan izin dan telah memenuhi persyaratan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 028/MENKES/PER/I/2011 Tentang Klinik, tetap diberikan izin Klinik dan rekomendasi operasional Klinik.
(3) Klinik yang diselenggarakan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 028/MENKES/PER/I/2011 Tentang Klinik, harus menyesuaikan dengan Peraturan ini paling lambat 2 (dua) tahun sejak diundangkan.
(2) Pada saat Peraturan ini mulai berlaku, Klinik yang sedang dalam proses pengajuan izin baru atau perpanjangan izin dan telah memenuhi persyaratan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 028/MENKES/PER/I/2011 Tentang Klinik, tetap diberikan izin Klinik dan rekomendasi operasional Klinik.
(3) Klinik yang diselenggarakan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 028/MENKES/PER/I/2011 Tentang Klinik, harus menyesuaikan dengan Peraturan ini paling lambat 2 (dua) tahun sejak diundangkan.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 45
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
1. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 028/MENKES/PER/I/2011 tentang Klinik; dan
2. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 666/MENKES/SK/VI/2007 tentang Klinik Rawat Inap Pelayanan Medik Dasar, sepanjang mengenai ketentuan perizinan penyelenggaraan Klinik; dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
1. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 028/MENKES/PER/I/2011 tentang Klinik; dan
2. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 666/MENKES/SK/VI/2007 tentang Klinik Rawat Inap Pelayanan Medik Dasar, sepanjang mengenai ketentuan perizinan penyelenggaraan Klinik; dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 46
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 11 Februari 2014
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
NAFSIAH MBOI
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 19 Februari 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
AMIR SYAMSUDIN
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 232
Post a Comment for "PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG KLINIK"